Kamis, 26 Juni 2014

Inggit Garnasih, tiga dalam satu diri
Oleh: Apriliyati Eka Subekti

“Separuh dari semua prestasi Soekarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih di dalam Bank Jasa Nasional Indonesia.”
-Ramadhan K.H-

Pemimpin besar, itulah dua kata yang pantas disematkan kepada sosok proklamator bangsa sehebat Soekarno. Kekuatan kharisma yang menyihir hingga ambisinya untuk menantang dunia, seakan menjadi bukti betapa luar biasa pengaruhnya di Indonesia bahkan seluruh dunia.  Namun demikian, sejatinya tak banyak orang yang tahu siapa sosok dibalik layar kedigdayaan Bung Karno kala itu. Sosok seorang perempuan yang dapat menjelma menjadi ibu, kekasih bahkan kawan sekalipun. Sosok yang telah mengantarkan Soekarno ke podium tertinggi pada zamannya.  Sosok yang mengantarnya ke gerbang zaman baru tanpa pernah merasakan jalan bertabur bunga.

Inggit Muda
            Jika Ramadhan K. H. tak pernah berinisiatif untuk menulis autobiografi Inggit Garnasih dalam Soekarno, Kuantar Ke Gerbang, mungkin saja nama Inggit akan tenggelam dari ingatan rakyat Indonesia. Inggit Garnasih hanyalah seorang wanita sunda biasa, tanpa silsilah kebangsawanan. Ia bahkan tak pernah mengenyam pendidikan formal yang tinggi. Namun demikian, andai ada “Sekolah Tinggi Ilmu Perjuangan Indonesia,” Inggit lah lulusan terbaiknya.  Inggit adalah janda Soekarno yang paling berjasa dan berpengaruh bagi sang proklamator.
Sungguh, Perawakan yang kecil dan paras yang elok menjadi satu kesempurnaan tersendiri bagi sosok Inggit. Raut muka, mata bahkan tiap helaian rambutnya tak pernah luput dari pujian. Sanggulnya yang senantiasa berhiaskan kembang cempaka kuning, bahkan menjadikan Inggit sosok kembang desa yang diidamkan banyak pria.
Di usia yang masih muda, Inggit Garnasih telah menjadi Nyonya Sanusi. Sejak itu, Inggit pun hidup di tengah orang-orang terpandang. Hal ini bisa dimaklumi mengingat siapa Sanusi kala itu, seorang pengusaha ulung. Namun, tak serta merta Inggit hidup dalam gelimang harta. Kemandirian, menjadi pilihannya. Tak pernah sedikitpun Inggit menyusahkan Sanusi. Ia selalu menyibukkan diri untuk membuat jamu dan kosmetik ala kadar, menjahit kutang, bahkan mejual batik untuk dapat membeli barang-barang keinginanya. Disamping itu, Inggit begitu mengabdi pada Sanusi. Pengabdiannya terlihat kala ia melayani semua tamu-tamu sanusi yang datang ke rumah setiap saat. Mulai dari menyiapkan masakan hingga menyediakan tempat beristirahat dikerjakan Inggit setiap hari, tanpa mengeluh. 

Tiga dalam Satu Diri
            Menikah dengan Sanusi, Inggit tak merasakan kebahagiaan yang semestinya. Namun, semua itu berubah ketika sosok Soekarno muda didatangkan oleh Tuhan kehadapannya. Suatu hari, Hos Tjokroaminoto, sahabat Sanusi, meminta anak dan menantunya untuk ditampung di rumah pasangan Sanusi-Inggit. Mereka adalah Soekarno dan Kuntari. Tanpa piker panjang, mereka berdua pun diterima dengan baik oleh Sanusi-Inggit. Mulanya, tak pernah terjadi apa-apa diantara Soekarno-Inggit. Pada malam-malam berikutnya, Inggit selalu menjadi tempat curahan hati Soekarno. Keibuaan, ketenangan, dan kenyamanan ternyata didapatkan Soekarno dari sosok Inggit Garnasih. Rasa itu, bahkan tak ditemukan Soekarno dalam sosok Ida Ayu Nyoman Rai, ibu kandungnya sendiri.
Lama-kelamaan, benih-benih romantika pun muncul diantara keduanya. Inggit dan Soekarno bisa dibilang sama-sama berada pada titik kejenuhan. Inggit dengan Sanusi, sedangkan Soekarno dengan Kuntari. Pada akhirnya, mereka pun berpisah dengan masing-masing kawan hidupnya, dan bersatu sebagai sepasang suami istri. Soekarno, seorang pemuda yang bersolek dan perlente jelas menemukan tiga sosok dalam satu diri Inggit Garnasih. Sosok Ibu, kekasih, sekaligus kawan.
Hari-hari Inggit pasca dinikahi Soekarno jelas berbeda dengan yang dahulu ia rasakan bersama Sanusi. Mungkin, terasa bodoh meninggalkan suami mapan hanya untuk seorang mahasiswa macam Soekarno. Namun hal itu tidak bagi Inggit Garnasih. Inggit tahu betul ambisi Soekarno untuk memerdekakan Indonesia. Oleh sebab itu, Inggit melakukannya karena tak ingin Soekarno masuk ke dalam jurang hitam, terbenam dengan ambisinya sendiri. Inggit lah yang membantu Soekarno berjuang untuk menyelesaikan pendidikan Soekarno di ITB. Hanya Inggit seorang diri yang menghidupi kebutuhan keluarga mereka saking tak sempatnya Soekarno menyisihkan waktu sebab sibuk berorasi kemana-mana. Inggit bahkan yang senantiasa menemani sang singa podium mengobarkan api perjuangan dalam merebut kemerdekaan. Inggit Garnasih lah satu-satunya orang yang rela berjalan puluhan kilometer ke Penjara Suka Miskin kala Soekarno ditahan akibat suara vokalnya. Bahkan, ketika Soekarno menggigil sekujur tubuhnya, hanya Inggit Garnasih yang mengurusnya sepenuh hati. Inggit pun mungkin sudah berkali-kali mersakan hidup dalam pengasingan dan pembuangan bersama Soekarno.  Inggit lah satu-satunya perempuan yang rela berkawan dengan rasa khawatir kalau-kalau suaminya menjadi bulan-bulanan Belanda. Inggit betul-betul merepresentasikan tiga peran dalam satu diri; Ibu, kekasih, dan kawan bagi Soekarno

Akhir
            Sejatinya, Inggit Garnasih lebih banyak mendampingi kesusahan Soekarno dalam memperjuangkan nasib bangsa yang begitu dicintainya. Namun demikian, tidak dengan begitu, manis dapat dikecap Inggit dengan mudahnya. Inggit harus mendapati kalau dirinya tak bisa membuahkan anak untuk Soekarno. Sampai pada akhirnya, Inggit harus menerima kenyataan pahit. Soekarno lebih memilih bekas anak angkatnya sendiri, Fatmawati. Pantang bagi Inggit yang berasal dari Banjaran, untuk dimadu. Hampir dua puluh tahun mendidik, menemani, dan mengayomi Soekarno, Inggit memilih mundur. Soekarno mengembalikan Inggit kepada Sanusi. Biarpun semuanya telah berakhir, doa Inggit untuk Soekarno nyatanya tak pernah putus. Bahkan hingga Soekarno harus berpulang mendahuluinya, Inggit tetap menjadi tiga dalam satu diri Soekarno. 





[Disarikan dari autobiografi bergaya roman ‘Soekarno, Kuantar Kau Ke Gerbang’
 karya Ramadhan K.H ]