Inggit
Garnasih, tiga dalam satu diri
Oleh:
Apriliyati Eka Subekti
“Separuh dari semua prestasi Soekarno dapat didepositokan atas
rekening Inggit Garnasih di dalam Bank Jasa Nasional Indonesia.”
-Ramadhan K.H-
Pemimpin
besar, itulah dua kata yang pantas disematkan kepada sosok proklamator bangsa sehebat
Soekarno. Kekuatan kharisma yang menyihir hingga ambisinya untuk menantang
dunia, seakan menjadi bukti betapa luar biasa pengaruhnya di Indonesia bahkan
seluruh dunia. Namun demikian, sejatinya
tak banyak orang yang tahu siapa sosok dibalik layar kedigdayaan Bung Karno
kala itu. Sosok seorang perempuan yang dapat menjelma menjadi ibu, kekasih bahkan
kawan sekalipun. Sosok yang telah mengantarkan Soekarno ke podium tertinggi
pada zamannya. Sosok yang mengantarnya
ke gerbang zaman baru tanpa pernah merasakan jalan bertabur bunga.
Inggit Muda
Jika
Ramadhan K. H. tak pernah berinisiatif untuk menulis autobiografi Inggit Garnasih
dalam Soekarno, Kuantar Ke Gerbang, mungkin saja nama Inggit akan tenggelam dari
ingatan rakyat Indonesia. Inggit Garnasih hanyalah seorang wanita sunda biasa, tanpa
silsilah kebangsawanan. Ia bahkan tak pernah mengenyam pendidikan formal yang
tinggi. Namun demikian, andai ada “Sekolah Tinggi Ilmu Perjuangan Indonesia,”
Inggit lah lulusan terbaiknya. Inggit
adalah janda Soekarno yang paling berjasa dan berpengaruh bagi sang
proklamator.
Sungguh,
Perawakan yang kecil dan paras yang elok menjadi satu kesempurnaan tersendiri
bagi sosok Inggit. Raut muka, mata bahkan tiap helaian rambutnya tak pernah
luput dari pujian. Sanggulnya yang senantiasa berhiaskan kembang cempaka
kuning, bahkan menjadikan Inggit sosok kembang
desa yang diidamkan banyak pria.
Di
usia yang masih muda, Inggit Garnasih telah menjadi Nyonya Sanusi. Sejak itu,
Inggit pun hidup di tengah orang-orang terpandang. Hal ini bisa dimaklumi
mengingat siapa Sanusi kala itu, seorang pengusaha ulung. Namun, tak serta
merta Inggit hidup dalam gelimang harta. Kemandirian, menjadi pilihannya. Tak
pernah sedikitpun Inggit menyusahkan Sanusi. Ia selalu menyibukkan diri untuk
membuat jamu dan kosmetik ala kadar, menjahit kutang, bahkan mejual batik untuk
dapat membeli barang-barang keinginanya. Disamping itu, Inggit begitu mengabdi
pada Sanusi. Pengabdiannya terlihat kala ia melayani semua tamu-tamu sanusi
yang datang ke rumah setiap saat. Mulai dari menyiapkan masakan hingga
menyediakan tempat beristirahat dikerjakan Inggit setiap hari, tanpa mengeluh.
Tiga dalam Satu Diri
Menikah
dengan Sanusi, Inggit tak merasakan kebahagiaan yang semestinya. Namun, semua
itu berubah ketika sosok Soekarno muda didatangkan oleh Tuhan kehadapannya. Suatu
hari, Hos Tjokroaminoto, sahabat Sanusi, meminta anak dan menantunya untuk
ditampung di rumah pasangan Sanusi-Inggit. Mereka adalah Soekarno dan Kuntari. Tanpa
piker panjang, mereka berdua pun diterima dengan baik oleh Sanusi-Inggit.
Mulanya, tak pernah terjadi apa-apa diantara Soekarno-Inggit. Pada malam-malam
berikutnya, Inggit selalu menjadi tempat curahan hati Soekarno. Keibuaan,
ketenangan, dan kenyamanan ternyata didapatkan Soekarno dari sosok Inggit
Garnasih. Rasa itu, bahkan tak ditemukan Soekarno dalam sosok Ida Ayu Nyoman
Rai, ibu kandungnya sendiri.
Lama-kelamaan,
benih-benih romantika pun muncul diantara keduanya. Inggit dan Soekarno bisa
dibilang sama-sama berada pada titik kejenuhan. Inggit dengan Sanusi, sedangkan
Soekarno dengan Kuntari. Pada akhirnya, mereka pun berpisah dengan
masing-masing kawan hidupnya, dan bersatu sebagai sepasang suami istri.
Soekarno, seorang pemuda yang bersolek dan perlente jelas menemukan tiga sosok dalam
satu diri Inggit Garnasih. Sosok Ibu, kekasih, sekaligus kawan.
Hari-hari
Inggit pasca dinikahi Soekarno jelas berbeda dengan yang dahulu ia rasakan
bersama Sanusi. Mungkin, terasa bodoh meninggalkan suami mapan hanya untuk
seorang mahasiswa macam Soekarno. Namun hal itu tidak bagi Inggit Garnasih.
Inggit tahu betul ambisi Soekarno untuk memerdekakan Indonesia. Oleh sebab itu,
Inggit melakukannya karena tak ingin Soekarno masuk ke dalam jurang hitam,
terbenam dengan ambisinya sendiri. Inggit lah yang membantu Soekarno berjuang
untuk menyelesaikan pendidikan Soekarno di ITB. Hanya Inggit seorang diri yang
menghidupi kebutuhan keluarga mereka saking tak sempatnya Soekarno menyisihkan
waktu sebab sibuk berorasi kemana-mana. Inggit bahkan yang senantiasa menemani
sang singa podium mengobarkan
api perjuangan dalam merebut kemerdekaan. Inggit Garnasih lah satu-satunya
orang yang rela berjalan puluhan kilometer ke Penjara Suka Miskin kala Soekarno
ditahan akibat suara vokalnya. Bahkan, ketika Soekarno menggigil sekujur
tubuhnya, hanya Inggit Garnasih yang mengurusnya sepenuh hati. Inggit pun
mungkin sudah berkali-kali mersakan hidup dalam pengasingan dan pembuangan
bersama Soekarno. Inggit lah
satu-satunya perempuan yang rela berkawan dengan rasa khawatir kalau-kalau
suaminya menjadi bulan-bulanan Belanda. Inggit betul-betul merepresentasikan
tiga peran dalam satu diri; Ibu, kekasih, dan kawan bagi Soekarno
Akhir
Sejatinya, Inggit Garnasih lebih banyak mendampingi
kesusahan Soekarno dalam memperjuangkan nasib bangsa yang begitu dicintainya.
Namun demikian, tidak dengan begitu, manis dapat dikecap Inggit dengan
mudahnya. Inggit harus mendapati kalau dirinya tak bisa membuahkan anak untuk
Soekarno. Sampai pada akhirnya, Inggit harus menerima kenyataan pahit. Soekarno
lebih memilih bekas anak angkatnya sendiri, Fatmawati. Pantang bagi Inggit yang
berasal dari Banjaran, untuk dimadu. Hampir dua puluh tahun mendidik, menemani,
dan mengayomi Soekarno, Inggit memilih mundur. Soekarno mengembalikan Inggit
kepada Sanusi. Biarpun semuanya telah berakhir, doa Inggit untuk Soekarno
nyatanya tak pernah putus. Bahkan hingga Soekarno harus berpulang
mendahuluinya, Inggit tetap menjadi tiga dalam satu diri Soekarno.
[Disarikan dari autobiografi bergaya roman
‘Soekarno, Kuantar Kau Ke Gerbang’
karya
Ramadhan K.H ]