Hatta, Elegansi Kepribadian Bangsa
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung
Hatta
menjaga Bung Syahrir
-Krawang-Bekasi,
Chairil Anwar, 1948-
5 November lalu, Tri Rismaharini dan Yoyok
Riyo Sudibyo dianugerahi penghargaan Bung
Hatta Anti Corruption Award (BHACA) 2015. Penghargaan ini diberikan atas
konsistensi integritas dan inovasi birokrasi bersih yang dimiliki keduanya.
Masih ada individu-individu berkarakter kuat yang mampu menjadi panutan, pikir
saya. Pandangan saya terus menerawang, memaknai lebih
jauh nama penghargaan di atas. Mengapa Bung Hatta? Bukan Bung Karno, yang
selalu dielukan bak singa podium kala beraksi di panggung orasi. Saya lantas
kembali membuka lembar demi lembar memoar Bung Hatta. Mencoba mendalami kembali
sisi personal beliau yang konon cenderung tertutup.
Hatta,
sosoknya lebih dari sekadar proklamator bangsa. Hatta adalah seorang suami,
ayah, sahabat, dan guru bangsa yang sangat mencintai negaranya. Penjara Casuaristaart, Boven Digul, Penjara
Glodok, dan Bangka adalah saksi bisu cinta tersebut. Hatta memang telah memilih
pergerakan sebagai jalan hidupnya, ia pun selalu siap menelan segala
konsekuensi yang hadir, termasuk pengasingan. Bagi saya, Hatta adalah sosok
berpendirian yang tak mudah digoyah kemewahan. Karakternya sangat kuat, seperti
akar beringin yang mencengkram permukaan bumi. Biarpun sejak kecil Hatta telah
yatim, kehadiran Ayah Gaek Arsyad lah (sang kakek) yang senantiasa mengasah dan
memperkuat karakter Hatta.
Tumbuh
di lingkungan keluarga yang agamis, membuat Atta
(panggilan kecil Hatta) menjelma menjadi pemuda Bukittinggi yang memegang
teguh nafas islam. Sodorkan lima pilihan pada Hatta, rending, laut, buku,
sekolah, dan Makkah, tanpa ragu Atta
pun memilih Makkah. Ayah Gaek nya lah yang mendasari pilihan tersebut. Beliau lah
yang mengajari Atta bagaimana menjadi
muslim yang menginsafi rukun islam. Dahulu, Ayah Gaek bahkan sempat
menjanjikannya sekolah di Makkah. Sayang, sang ibu, Siti Saleha menolak
keinginan tersebut. Sekalipun ia tetap bersikukuh, ia tak kuasa membantah sang
ibu. Atta memang penurut.
Gagal
ke Makkah, nasib pun membawa Hatta muda ke Betawi (Jakarta), lalu terbang ke
Belanda. Kontra dengan ketidakadilan penjajahan menggerakkan hati Hatta untuk
bergabung dengan Perhimpunan Indonesia (PI). Di sinilah perjalanan
perjuangannya dimulai. Bersua dengan bung kecil, Sutan Sjahrir, yang akan
menjadi sahabat karibnya. Beriringan dengan partner
dwitunggalnya, Soekarno. Bergandengan tangan dengan sosok-sosok besar lain,
mewujudkan Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Tahukah
kawan siapa salah satu sosok besar yang
berpengaruh dalam hidup Hatta? Ialah H. Agus Salim, sosok sosialis humoris
sekaligus pendiri Sarekat Islam (SI). Sosok yang sangat berkarakter,
sampai-sampai membuat gempar para tamu asing karena perilakunya makan dengan
tangan di sebuah jamuan makan malam resmi Eropa. Dari H.Agus Salim, Hatta
belajar menjadi seorang intelektual islam. Makin kuatlah karakter Hatta. Makin
membara lah semangat nasionalismenya.
Satu
yang menjadi kekaguman saya pada sosok Hatta adalah kegemaran berliterasinya.
Hatta sangat suka membaca. Ia sangat mencintai buku. Baginya, buku adalah
senjata untuk mencapai kemerdekaan. Ya, Hatta percaya bahwa bangsa ini akan
besar jika rakyatnya makan pendidikan. Saking cintanya pada buku, Hatta selalu
membawa 16 peti besi berisi buku kemanapun ia diasingkan. Hatta menjaga benar
aset-asetnya itu. Pernah suatu ketika, kala masih di Digul, anak-anak angkat
Sjahrir tanpa sengaja menumpahkan air ke buku-buku Hatta. Marahlah ia,
sampai-sampai Sjahrir dan anak-anak angkatnya harus pindah rumah agar tak
menganggu Hatta dan buku-bukunya. Buku, memang telah menjadi bagian dari jiwa
seorang Hatta. Kala di pengasingan pun, tangan Hatta tak henti menghasilkan
karya. Bahkan setelah ia mundur dari jabatan wakil presiden, kehidupannya turut
ditopang dari honor menulis yang tak seberapa.
Kembali
ke kekuatan karakter Hatta. Berapa kali Hatta dibujuk untuk menjadi komisaris
di perusahaan asing? Berapa kali Hatta ditawari bantuan oleh Kompeni? Mungkin
sulit terhitung dengan jari. Namun, Hatta tetap pada pendirian. Menolak. Aneh baginya
bermewah-mewah kala rakyatnya berkalang fakir. Tak apa sederhana, karena sesungguhnya
sesuatu yang mahal adalah kesederhanaan itu sendiri. Bahkan pernah suatu waktu,
ketika Hatta berkunjung ke Digul pasca kemerdekaan, ia menolak uang saku dinas
yang diberikan. Justru uang itu diberikannya pada masyarakat setempat. Itu uang
rakyat, dan harus kembali ke rakyat, begitulah Hatta.
Kekaguman saya masih belum berhenti, saya
masih ingat betapa Hatta sangat menepati waktu. Hatta adalah sosok yang tak
pernah luput akan waktu. Singkat cerita, dahulu pernah ada tamu kedutaan datang
ke kediaman Hatta lewat dari setengah jam. Jangankan menerima masuk, Hatta
meminta Pak Wangsa, sang sekretaris, untuk menyuruh si tamu pulang. Hatta memang
tak peduli, seberapa orang penting dia. Sekalipun telat, ya telat. Sungguh jauh berbeda dengan kondisi masyarakat saat ini,
tak ayal jam karet menjadi hal biasa baik dalam rapat dinas maupun pertemuan formal
lainnya. Dari sudut yang berbeda, Hatta sangat menjaga rahasia kebijakan negara
bahkan dari keluarganya sendiri. Rahmi, sang istri, bahkan tak tahu jika telah
terjadi sannering, dan membuatnya tak
bisa membeli mesin jahit. Di sisi lain, Hatta
turut melekatkan kejujuran dan kemurahhatian jiwa orang Indonesia di mata
bangsa asing. Ini ia buktikan kala memesan sebuah jas di Hamburg. Awalnya Hatta
menolak membeli, namun karena iba pada sang penjual, ia memutuskan mengambil
sebuah jas biru. Sesuai perjanjian ia membayar beberapa bulan kemudian. Kurs Jerman
kala itu merosot tajam, hingga harga jas melorot 90%. Namun, Hatta tetap
membayar sesuai harga awal. Seminggu kemudian, sang penjual mengirimi Hatta
surat. Ia menyanjung kebaikan dan kemurahhatian Bangsa Indonesia. Jauh sebelum
menteri pendidikan mengumandangkan pentingnya kepribadian bangsa, Hatta terbukti
telah menorehkan keluhuran hati Indonesia, yang dirasakan oleh bangsa lain.
Terakhir
sebelum saya menutup tulisan ini, saya ingin sedikit mengulik perjalanan
persahabatan Hatta dengan beberapa rekannya. Terkhusus Sjahrir dan Soekarno. Sjahrir,
si bung kecil itu, telah menjadi bagian dari perjalanan Hatta. Pada akhirnya,
kemerdekaanlah yang memisahkan mereka. Sjahrir terbuang. Hatta bahkan dipertemukan
dengan Sjahrir yang telah tertidur tenang, di sebuah makam, tempat segala jasad
kembali kepada bumi. Duka mendalam. Sejatinya, Hatta sadar Sjahrir korban
Soekarno. Namun, surat-surat pembelaanya pada Soekarno tetap tak digubris. Sampai
suatu ketika, Soekarno terkulai tak berdaya, termakan demokrasi terpimpinya
sendiri. Hatta tak bisa mengingkari, ada sejarah luka yang digores Soekarno
padanya. Namun, kenangan perjuangan lagi-lagi meuluruhkan segalanya. Hatta iba.
Soekarno tetap sahabat Hatta.
Bagi
saya, keteguhan karakter Hatta merupakan kekuatan tersendiri bagi Bangsa ini. Tak
perlu jauh-jauh menengok sosok asing, melihat Hatta saja sudah cukup bagi kita
untuk berbenah diri. Kini saya paham, mengapa nama Bung Hatta menjadi nama
untuk penghargaan antikorupsi di Indonesia. Semua berharap siapapun yang meraihnya, berkarakter layaknya
sosok Hatta. Saya masih ingat ketika Jokowi mendapat penghargaan tersebut
beberapa tahun silam. Kini, justru partai pendukungnya mengusung pembubaran
KPK. Kalau pun draft RUU KPK yang mematikan ditekennya, saya mempertanyakan
seberapa kuat karakter Jokowi. Mungkin, penghargaan Bung Hatta Anticorruption
Awardnya perlu dicabut jika itu benar terjadi. Sejujurnya, Saya masih optimis
ada Hatta-Hatta lain di Indonesia. sosok-sosok yang berkarakter teguh dan
menjadi cerminan elegansi kepribadian bangsa Indonesia. Pertanyaanya, kini mampukah
kita generasi muda menjadi Hatta di masa depan? Coba pejamkan mata dan resapi.
(Disarikan dari
Memoar dan Catatan Singkat
“Hatta, Aku Datang karena Sejarah”)