Minggu, 08 November 2015

Hatta, Elegansi Kepribadian Bangsa 

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Syahrir
-Krawang-Bekasi, Chairil Anwar, 1948-

           5 November lalu, Tri Rismaharini dan Yoyok Riyo Sudibyo dianugerahi penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) 2015. Penghargaan ini diberikan atas konsistensi integritas dan inovasi birokrasi bersih yang dimiliki keduanya. Masih ada individu-individu berkarakter kuat yang mampu menjadi panutan, pikir saya.   Pandangan saya terus menerawang, memaknai lebih jauh nama penghargaan di atas. Mengapa Bung Hatta? Bukan Bung Karno, yang selalu dielukan bak singa podium kala beraksi di panggung orasi. Saya lantas kembali membuka lembar demi lembar memoar Bung Hatta. Mencoba mendalami kembali sisi personal beliau yang konon cenderung tertutup.
          Hatta, sosoknya lebih dari sekadar proklamator bangsa. Hatta adalah seorang suami, ayah, sahabat, dan guru bangsa yang sangat mencintai negaranya. Penjara Casuaristaart, Boven Digul, Penjara Glodok, dan Bangka adalah saksi bisu cinta tersebut. Hatta memang telah memilih pergerakan sebagai jalan hidupnya, ia pun selalu siap menelan segala konsekuensi yang hadir, termasuk pengasingan. Bagi saya, Hatta adalah sosok berpendirian yang tak mudah digoyah kemewahan. Karakternya sangat kuat, seperti akar beringin yang mencengkram permukaan bumi. Biarpun sejak kecil Hatta telah yatim, kehadiran Ayah Gaek Arsyad lah (sang kakek) yang senantiasa mengasah dan memperkuat karakter Hatta.
          Tumbuh di lingkungan keluarga yang agamis, membuat Atta (panggilan kecil Hatta) menjelma menjadi pemuda Bukittinggi yang memegang teguh nafas islam. Sodorkan lima pilihan pada Hatta, rending, laut, buku, sekolah, dan Makkah, tanpa ragu Atta pun memilih Makkah. Ayah Gaek nya lah yang mendasari pilihan tersebut. Beliau lah yang mengajari Atta bagaimana menjadi muslim yang menginsafi rukun islam. Dahulu, Ayah Gaek bahkan sempat menjanjikannya sekolah di Makkah. Sayang, sang ibu, Siti Saleha menolak keinginan tersebut. Sekalipun ia tetap bersikukuh, ia tak kuasa membantah sang ibu. Atta memang penurut.
          Gagal ke Makkah, nasib pun membawa Hatta muda ke Betawi (Jakarta), lalu terbang ke Belanda. Kontra dengan ketidakadilan penjajahan menggerakkan hati Hatta untuk bergabung dengan Perhimpunan Indonesia (PI). Di sinilah perjalanan perjuangannya dimulai. Bersua dengan bung kecil, Sutan Sjahrir, yang akan menjadi sahabat karibnya. Beriringan dengan partner dwitunggalnya, Soekarno. Bergandengan tangan dengan sosok-sosok besar lain, mewujudkan Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
          Tahukah kawan siapa salah satu  sosok besar yang berpengaruh dalam hidup Hatta? Ialah H. Agus Salim, sosok sosialis humoris sekaligus pendiri Sarekat Islam (SI). Sosok yang sangat berkarakter, sampai-sampai membuat gempar para tamu asing karena perilakunya makan dengan tangan di sebuah jamuan makan malam resmi Eropa. Dari H.Agus Salim, Hatta belajar menjadi seorang intelektual islam. Makin kuatlah karakter Hatta. Makin membara lah semangat nasionalismenya.
          Satu yang menjadi kekaguman saya pada sosok Hatta adalah kegemaran berliterasinya. Hatta sangat suka membaca. Ia sangat mencintai buku. Baginya, buku adalah senjata untuk mencapai kemerdekaan. Ya, Hatta percaya bahwa bangsa ini akan besar jika rakyatnya makan pendidikan. Saking cintanya pada buku, Hatta selalu membawa 16 peti besi berisi buku kemanapun ia diasingkan. Hatta menjaga benar aset-asetnya itu. Pernah suatu ketika, kala masih di Digul, anak-anak angkat Sjahrir tanpa sengaja menumpahkan air ke buku-buku Hatta. Marahlah ia, sampai-sampai Sjahrir dan anak-anak angkatnya harus pindah rumah agar tak menganggu Hatta dan buku-bukunya. Buku, memang telah menjadi bagian dari jiwa seorang Hatta. Kala di pengasingan pun, tangan Hatta tak henti menghasilkan karya. Bahkan setelah ia mundur dari jabatan wakil presiden, kehidupannya turut ditopang dari honor menulis yang tak seberapa.
          Kembali ke kekuatan karakter Hatta. Berapa kali Hatta dibujuk untuk menjadi komisaris di perusahaan asing? Berapa kali Hatta ditawari bantuan oleh Kompeni? Mungkin sulit terhitung dengan jari. Namun, Hatta tetap pada pendirian. Menolak. Aneh baginya bermewah-mewah kala rakyatnya berkalang fakir. Tak apa sederhana, karena sesungguhnya sesuatu yang mahal adalah kesederhanaan itu sendiri. Bahkan pernah suatu waktu, ketika Hatta berkunjung ke Digul pasca kemerdekaan, ia menolak uang saku dinas yang diberikan. Justru uang itu diberikannya pada masyarakat setempat. Itu uang rakyat, dan harus kembali ke rakyat, begitulah Hatta.
             Kekaguman saya masih belum berhenti, saya masih ingat betapa Hatta sangat menepati waktu. Hatta adalah sosok yang tak pernah luput akan waktu. Singkat cerita, dahulu pernah ada tamu kedutaan datang ke kediaman Hatta lewat dari setengah jam. Jangankan menerima masuk, Hatta meminta Pak Wangsa, sang sekretaris, untuk menyuruh si tamu pulang. Hatta memang tak peduli, seberapa orang penting dia. Sekalipun telat, ya telat. Sungguh jauh berbeda dengan kondisi masyarakat saat ini, tak ayal jam karet menjadi hal biasa baik dalam rapat dinas maupun pertemuan formal lainnya. Dari sudut yang berbeda, Hatta sangat menjaga rahasia kebijakan negara bahkan dari keluarganya sendiri. Rahmi, sang istri, bahkan tak tahu jika telah terjadi sannering, dan membuatnya tak bisa membeli mesin jahit.  Di sisi lain, Hatta turut melekatkan kejujuran dan kemurahhatian jiwa orang Indonesia di mata bangsa asing. Ini ia buktikan kala memesan sebuah jas di Hamburg. Awalnya Hatta menolak membeli, namun karena iba pada sang penjual, ia memutuskan mengambil sebuah jas biru. Sesuai perjanjian ia membayar beberapa bulan kemudian. Kurs Jerman kala itu merosot tajam, hingga harga jas melorot 90%. Namun, Hatta tetap membayar sesuai harga awal. Seminggu kemudian, sang penjual mengirimi Hatta surat. Ia menyanjung kebaikan dan kemurahhatian Bangsa Indonesia. Jauh sebelum menteri pendidikan mengumandangkan pentingnya kepribadian bangsa, Hatta terbukti telah menorehkan keluhuran hati Indonesia, yang dirasakan oleh bangsa lain.
          Terakhir sebelum saya menutup tulisan ini, saya ingin sedikit mengulik perjalanan persahabatan Hatta dengan beberapa rekannya. Terkhusus Sjahrir dan Soekarno. Sjahrir, si bung kecil itu, telah menjadi bagian dari perjalanan Hatta. Pada akhirnya, kemerdekaanlah yang memisahkan mereka. Sjahrir terbuang. Hatta bahkan dipertemukan dengan Sjahrir yang telah tertidur tenang, di sebuah makam, tempat segala jasad kembali kepada bumi. Duka mendalam. Sejatinya, Hatta sadar Sjahrir korban Soekarno. Namun, surat-surat pembelaanya pada Soekarno tetap tak digubris. Sampai suatu ketika, Soekarno terkulai tak berdaya, termakan demokrasi terpimpinya sendiri. Hatta tak bisa mengingkari, ada sejarah luka yang digores Soekarno padanya. Namun, kenangan perjuangan lagi-lagi meuluruhkan segalanya. Hatta iba. Soekarno tetap sahabat Hatta.
          Bagi saya, keteguhan karakter Hatta merupakan kekuatan tersendiri bagi Bangsa ini. Tak perlu jauh-jauh menengok sosok asing, melihat Hatta saja sudah cukup bagi kita untuk berbenah diri. Kini saya paham, mengapa nama Bung Hatta menjadi nama untuk penghargaan antikorupsi di Indonesia. Semua berharap  siapapun yang meraihnya, berkarakter layaknya sosok Hatta. Saya masih ingat ketika Jokowi mendapat penghargaan tersebut beberapa tahun silam. Kini, justru partai pendukungnya mengusung pembubaran KPK. Kalau pun draft RUU KPK yang mematikan ditekennya, saya mempertanyakan seberapa kuat karakter Jokowi. Mungkin, penghargaan Bung Hatta Anticorruption Awardnya perlu dicabut jika itu benar terjadi. Sejujurnya, Saya masih optimis ada Hatta-Hatta lain di Indonesia. sosok-sosok yang berkarakter teguh dan menjadi cerminan elegansi kepribadian bangsa Indonesia. Pertanyaanya, kini mampukah kita generasi muda menjadi Hatta di masa depan? Coba pejamkan mata dan resapi.
            
(Disarikan dari Memoar dan Catatan Singkat
 “Hatta, Aku Datang karena Sejarah”)