Minggu, 25 Desember 2016

Belajar dari Cingkarabala dan Balaupata

Dalam lakon pewayangan, dikisahkan bahwa tiap orang yang hendak memasuki gerbang kayangan suralaya hendaknya datang dengan tubuh yang halus. Tak diizinkan bagi siapapun untuk berani mendekati Kori Sela Matangkep dalam kondisi tubuh yang kasar. Hal inilah yang membuat dua saudara kembar Cingkarabala dan Balaupata diperintahkan untuk menjaga Kori Sela Matangkep. Dengan fisik yang seram, tubuh besar dan bersenjata gada, mereka menghalau hawa nafsu dan angkara murka setiap jiwa yang hendak masuk ke kayangan suralaya.
Cingkarabala dan Balaupata mungkin hanya lakon belaka. Tokoh fiktif yang bisa saja khalayak liat sebagai patung tulak bala di beberapa bangunan monumental. Namun mengamati peran dan watak kedua anak Maharesi Gopatama tersebut, seketika saya berpikir, apakah Cingkarabala dan Balaupata dulunya pernah menolak tugas berat tersebut? Pernahkah terlintas dipikiran mereka untuk menjelma mejadi Sri Rama saja.
Saya lantas berpikir, ini sama saja dengan kenyataan yang harus saya dan seluruh sahabat terima. Hakikat kami sebagai mukhayyar (baca: pemilih) mungkin tak bisa kami rasakan. Singkat kata, siapa bisa menolak titah penempatan? Namun saya teringat lagi dengan  Cingkarabala dan Balaupata, bagaimanapun beratnya menjaga suralaya, mereka tak pernah mengeluh. Hingga akhrinya konsistensi dan keteguhan hati terbukti mampu mengangkat posisi mereka menjadi dewa.
Entah mengapa, tetiba saya berpikir bahwa kita mungkin dapat belajar dari Cingkarabala dan Balaupata. Perkara menerima atau tidak mungkin hanya hati masing-masing yang dapat berkonsolidasi. Namun bicara tentang menunaikan tugas, rasanya Cingkarabala dan Balaupata patut menjadi tauladan. Tak pernah dalam epos pewayangan manapun mengungkap keluh kesah saudara kembar ini. Bahkan diceritakan bahwa mereka beberapa kali perang untuk menjaga senjata dewa dan para bidadari di kayangan. Satu hal yang perlu diingat, Cingkarabala dan Balaupata pun senantiasa menggunakan hati nurani dalam setiap tindakannya, sehingga terkenal sebagai sosok yang jujur dan dapat dipercaya.
Kembali pada hakikat manusia sebagai mukhayyar, mungkin kita tak bisa memilih mau dimana kita ditempatkan. Namun sejatinya kita masih bisa memilih, untuk menjadi Cingkarabala dan Balaupata. Saya yakin, banyak sahabat (tak terkecuali saya) ingin menjelma menjadi Sri Rama atau bahkan Parikesit. Namun, kenyataan meminta kami untuk berperan bak Cingkarabala dan Balaupata. Bukan sebagai penjaga kayangan, namun penjaga keuangan negara. Baik ibukota maupun perbatasan negara, semua bak wengko suralaya yang harus dirumat. Dalam cakrawala yang lebih luas, tentu banyak kekhawatiran untuk menerima tugas mulia tersebut. Jauh dari orang tua, sulit adaptasi, tak ada sinyal ponsel, sampai berpisah dengan pujaan hati karena harus berlayar jauh, pastilah terbayang. Semua seakan tak pasti, abu-abu, seperti debu tersapu angin. Namun kita harus melihat hakikat manusia lainnya, kita adalah mukallaf. Insan yang diistimewakan dengan berbagai kelebihan, sehingga pantas mengemban tugas dan tanggung jawab besar. Saya yakin semua butuh proses untuk memantapkan jiwa seutuhnya. Namun, dengan ini, tak ada lagi alasan untuk menjadi lemah menerima kenyataan yang telah ditentukan, untuk senantiasa menjadi nagara dhana rakca seutuhnya!


Kamis, 17 Maret 2016

Meritokranian: Generasi Muda Pelopor Demokrasi Berintegritas

Oleh Apriliyati Eka Subekti

"Bicara kualitas manusia maka prinsipnya niscaya akan hadir era meritokrasi,"    -Anies Baswedan-

Dalam hitungan minggu, sebagian daerah di Indonesia akan segera menggelar hajatan tertinggi demokrasi. Data KPU menunjukkan bahwa terdapat 9 provinsi dan 260 kabupaten/kota yang serentak mengadakan pilkada pada 9 Desember 2015. Di sisi lain, keikutsertaan dalam memberikan hak suara pada pilkada ini, dipandang sebagai standard partisipasi masyarakat dalam pemenuhan tanggung jawabnya sebagai warga negara. Perlu diketahui, sekitar 30 persen dari total pemilih di Indonesia merupakan generasi muda atau pemilih pemula. Para pemilih pemula tersebut merupakan basis utama swing voters yang cukup menentukan arah pengelolaan negara pada periode selanjutnya. Di sisi lain, para pemimpin dan pemangku kebijakan sudah sepatutnya dipilih berdasar kompetensi dan integritasnya. Tak ayal, terbersit sedikit kekhawatiran akan kemampuan pemilih pemula dalam mengelola antusiasmenya menentukan sosok pemimpin yang tepat. Namun demikian, jika dimanfaatkan dengan baik, antusiasme tersebut justru dapat menjadi modal untuk mengawal penyelenggaraan pesta demokrasi, khusunya pilkada 2015. Sebetulnya, bagaimana kaum muda dapat ambil bagian mengawal penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia? Mampukah kaum muda menjadi generasi meritokranian yang melek politik? Tulisan ini akan memaparkannya lebih jauh.

Pemilih Pemula, Aset Pemilu
Tak dapat dipungkiri bahwa kondisi demografi suatu negara sangat memengaruhi proporsi pemilih dalam pemilihan umum di negara tersebut. Bahkan, kondisi di atas turut berdampak pada output dari pemilihan itu sendiri. Keputusan pemilih akan menentukan apakah pemilihan umum dapat membawa perubahan, atau justru mengulang perilaku bobrok pejabat publik pemerintahan, penyelewengan kekuasaan berujung korupsi.
Merunut penyelenggaraan pemilihan umum 2014, sebagian dari total pemilih di Indonesia merupakan generasi muda. Data “Survei Pemilih Pemula Pada Pemerintah, Korupsi, dan Pemilu 2014” milik Transparency Indonesia(TI) menunjukkan bahwa 30 persen dari total pemilih di Indonesia adalah pemilih pemula (17-30 tahun). Sejatinya, rata-rata pemilih pemula di Indonesia mendapatkan kemudahan akses pendidikan politik dari berbagai media. Senada dengan hal tersebut, Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Sonny Harry Harmadi pun menambahkan, bahwa dengan tingkat pendidikan dan akses informasi yang baik, mereka seharusnya cenderung melek politik. (Antusiasme Pemilih Muda- Kompas, 8 April 2014).
Jika dilihat dari partisipasi politik, sebagian besar pemilih muda menyatakan  akan menggunakan hak pilihnya. Survei TI pada tahun 2014 kembali menyebutkan bahwa, 77% pemilih pemula bersedia menggunakan hak suaranya dalam pemilihan presides (pilpres) 2014. Begitupun pada pemilihan legislative 2014, 63% pemilih pemula menyatakan bersedia memberikan hak suaranya. Fenomena ini menandakan masih terjaganya tingkat kepercayaan pemilih pemula terhadap kondisi politik yang tengah berjalan. Paling tidak, ada kepedulian politik yang terbersit di benak mereka. Namun, jika dilihat dari kesediaan menggali informasi politik, pemilih pemula cenderung minim minat. Nyatanya, 48% pemilih pemula mengaku jarang mencari informasi tentang pemilu, 33% pemilih menyatakan tidak pernah, dan sisanya mengaku sering mencari informasi.
Apabila disandingkan, partisipasi politik dan informasi politik dapat ditarik benang merahnya. Partisipasi politik yang tidak didukung dengan kesediaan menggali informasi politik dapat memengaruhi pilihan politik. Alih-alih memanfaatkan hak pilih dengan tepat, justru malah ikut-ikutankarena tak tahu siapa yang hendak dipilih. Jelas, pemilih pemula masih menjadi basis kuat swing voters, pemilih yang masih dapat mengubah pilihan politiknya. Terbukti, 60% pemilih masih akan mengubah pilihan legislatifnya, sementara 35% akan mengubah pilihan capresnya kelak.
Sejatinya, kondisi di atas mencerminkan suara pemilih pemula yang sulit untuk ditebak namun tak terlalu sulit untuk diarahkan. Tak sedikit sebagian kandidat yang memanfaatkan hal ini. Oleh karenanya, mereka menganggap pemilih pemula sebagai aset pemilu nan potensial yang dapat menjadi lumbung suara.

Generasi Meritokranian
            Demokrasi merupakan sistem yang masih dipercaya masyarakat untuk menjalankan roda pemerintahan Indonesia saat ini. Bumi Bhineka Tunggal Ika pun masih meyakini bahwa sosok pemimpin idaman ialah mereka yang menerapkan demokrasi itu sendiri. Sejatinya, pemimpin yang demokrasi patut disaring dari integritas dan rekam jejak kompetensinya sebagai warga negara. Sistem demokrasi tak bisa turun ranjang layaknya aristokrasi. Sistem demokrasi juga tak boleh dikuasai dan disetir oleh kaum-kaum elit layaknya plutokrasi. Singkat kata, demokrasi menuntut diberlakukannya meritokrasi.
            Meritokrasi adalah sistem pemerintahan dimana para pemimpin dan pemangku kebijakannya dipilih berdasarkan integritas, keahlian, atau prestasinya. Istilah Meritokrasi sendiri dicetuskan oleh Michael Young dalam Rise of the Meritocracy pada tahun 1958. Meritokrasi merujuk sebuah sistem politik yang mengapresiasi integritas dan kompetensi seseorang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meritokrasi merupakan amunisi untuk melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Demokrasi yang diperkuat dengan meritokrasi dinilai mampu melepaskan negara ini dari cengkraman tikus-tikus berdasi.
            Merujuk pemaparan di atas, pilihan politik tiap pemilih lah yang sangat menentukan keberlangsungan demokrasi berbasis meritokrasi. Jika kesadaran politik tiap pemilih (khususnya pemilih pemula)telah mencapai titik kulminasi, tak sulit meweujudkan hal tersebut. Terlebih jika suara para swing voters dapat digiring kearah yang tepat. Menyikapi hal ini, sudah saatnya generasi muda menjadi pelopor demokrasi berintegritas. Mengawal keberlangsungan pesta demokrasi negeri ini. Menjelma menjadi generasi meritokranian.
            Generasi meritokranian adalah generasi yang mampu menaruh pilihan politik mereka pada sosok-sosok yang cakap dan bermoral Generasi meritokranian sadar betul akan pengaruh hak suara mereka demi keberlangsungan demokrasi bernafas meritokrasi. Dengan demikian, mereka akan mencari tahu betul siapa kandidat legislative maupun pemimpin mereka dari berbagai media dan teknologi. Hal ini demi pilihan politik yang tepat, kandidat dengan kompetensi yang memadai dan berpedoman pada integritas. Alhasil, bermunculan sosok-sosok yang lebih dari sekadar pejabat publik, sosok negarawan yang mampu menjadi tauladan.
            Sejatinya, generasi meritokranian lah yang mampu mengawal keberlangsungan pemilihan umum di Indonesia. Antusiasme sebagai pemilih pemula dapat mendorong inisiatif politik yang berujung pada keyakinan mereka untuk menggunakan hak suara dengan tepat.  Terlebih dengan kemudahan akses informasi yang didukung dengan tingkat pendidikan, pemilih pemula sudah sepantasnya cerdas bersikap. Dengan kecerdasan bersikap, generasi meritokranian diharap mampu menularkan kesadaran politiknya pada orang lain. Di sisi lain, hal tersebut juga mampu mendorong keberanian mereka untuk melawan penyimpangan politik  yang terjadi. Paling tidak, mereka tak menjatuhkan pilihan pada kandidat yang terindikasi melakukan penyimpangan tersebut. Jika berbagai peran di atas betul-betul dijalankan, generasi meritokranian jelas menjadi katalisator utama demokrasi bermeritokrat.

Sekadar Perlu atau Penting?
            Persentase yang besar membuat pemilih pemula menjadi sasaran empuk para kandidat dan partai politik. Dalam rangka mendekatkan diri dengan generasi muda, mereka pun menggunakan media sosial sebagai sarana kampanyenya. Strategi lain adalah dengan menggelar berbagai event yang digemari generasi muda. Mulai dari konser musik, flashmob, dan iklan yang menampilkan semangat kepemudaan. Hal ini ditempuh untuk membentuk stigma positif yang selanjutnya mengikat generasi muda dengan sang kandidat atau partai politik tertentu. Seirama dengan kondisi itu, Direktur Lingkaran Survei Kebijakan Publik (LSKP) Sunarto Ciptoharjono pun turut menegaskan, bahwa partai politik membentuk preferensi pemilih muda dengan membentuk ikatan pertama dengan mereka.
            Kondisi di atas membuat suara pemilih muda cukup rentan diombang-ambing. Psikologis yang belum matang cenderung membuat generasi muda mudah dimanfaatkan oknum politik tertentu. Maka dari itu, kesadaran untuk menjadi bagian dari generasi meritokranian sangatlah penting. Yang perlu diingat, suara generasi muda turut menentukan masa depan pengelolaan negara kedepannya.
            Dengan menjadi generasi meritokranian, suara generasi muda tak  mudah direbut dan dikelabui partai tertentu. Menjadi generasi meritokranian berarti menjadi generasi yang kritis, terutama terhadap isu korupsi yang membelit kaum senayan dan mungkin si kandidat pemimpin. Menjadi generasi meritokranian sama saja dengan membangun benteng pertahanan dari gelombang politik yang kian tak menentu. Menjadi generasi meritokranian berarti menjadi motor perubahan sosial.
           
Tanggung Jawab Bersama
            Untuk membentuk generasi meritokranian, memang dibutuhkan pendidikan politik yang berkesinambungan. Cukupkah hanya pemerintah yang bertanggung jawa. Jelas, jawabannya tidak.. Jika pada kenyataannya masih ada generasi apolitis, berarti pemerintah telah gagal dalam memberikan pendidikan politik pada warganya. Akan tetapi, disadari atau tidak, fungsi pendidikan politik nyata-nyata juga diemban oleh partai politik. Maka, apabila generasi muda hanya dimanfaatkan sebagai kantong suara bahkan hanya dijadikan objek politik semata, partai politik pun turut dinyatakan gagal menjalankan kewajiban edukasinya.
            Namun demikian, kesadaran politik sepatutnya harus dibangun sendiri oleh setiap insan muda di Indonesia. Jika generasi muda peduli akan bangsanya, pastilah ia peduli akan pemimpin yang memimpin bangsanya. Menjadi generasi meritokranian hanyalah bagian kecil dari sekian banyak kewajiban kaum muda kepada ibu pertiwi. Tantangan bangsa ini jauh lebih besar, perjalanan meneruskan perjuangan para founding fathers masih cukup panjang. Pertanyaannya, sudahkah kita menjadi bagian dari generasi meritokranian?



Bahan Bacaan

“Antusiasme Pemilih Muda” kompas.com, Senin, 19 Oktober 2015

Demokrasi dengan Meritokrasirepublika.co.id, 20 Oktober 2015(http://www.republika.co.id/berita/kolom/teh-anget/14/03/12/n29mza-demokrasi-dengan-meritokrasi)

 

Melirik Generasi Apolitis yang Kian Kronis beritasatu.com, 21 Juni 2013

(http://www.beritasatu.com/fokus/121100-melirik-generasi-apolitis-yang-kian-kronis.html)


“Pemilih Muda Penentu Kemenangan” DW.com, 30 Maret 2014 (http://www.dw.com/id/pemilih-muda-penentu-kemenangan/a-17527983)


Transparency Indonesia, Survei Pemilih Pemula Pada Pemerintah, Korupsi, dan Pemilu 2014      


Minggu, 03 Januari 2016

“I Corrupt All Cops” Membongkar Candu Korupsi Atas Nama Revolusi

Segerombol orang terlibat adu mulut di atas sebuah flat. Tak berapa lama, seorang pria dilempar dari flat tersebut. Tewas bersimbah darah. Seorang wanita tua yang melihat kejadian tersebut, seketika meniup peluit, memanggil polisi patroli. Dalam hitungan menit, datanglah dua orang polisi menanyakan apa yang telah terjadi. Beberapa orang turun dari atas flat, mereka memberikan sejumlah uang tutup mulut pada dua polisi tersebut, mengisyaratkan hanya terjadi tindak bunuh diri, bukan pembunuhan.  Si wanita tua kembali meyakinkan bahwa telah terjadi pembunuhan. Namun, percuma saja, para polisi sudah disumpal dengan black money.
Potongan cerita di atas adalah bagian dari film I Corrupt All Cops, film yang menceritakan betapa korupsi telah menjadi candu di Hongkong pada tahun 1970-an. Hal yang menjadi sorotan adalah instansi yang kecanduan, kepolisian. Bagaimana tidak, Kepala kepolisian, Inspektor Lak Chui menjadi beking seorang mafia kelas kakap bernama Gold. Disisi lain, diceritakan pula sosok-sosok polisi nakal seperti Unicorn Tang dan Gale Chan yang tak lain adalah anak buah Lak Chui. Sungguh, sulit membedakan antara polisi dan mafia di era tersebut. Singkat cerita, geng mafia berseragam polisi telah membentuk kerajaannya sendiri.
Di sisi lain, para mafia berseragam inipun terbiasa dengan kekerasan dan penyiksaan untuk mendapatkan tersangka dalam suatu kasus. Acap kali mereka mencari korban rekayasa lalu dipaksa dan disiksa untuk mengaku sebagai tersangka. Hal ini digambarkan dalam adegan penyiksaan yang harus dialami seorang mahasiswa bernama Bong. Ia ditangkap dan disiksa dengan tubuh digantung hingga berdarah-darah, hanya untuk mengakui apa yang tak pernah ia lakukan.
Namun, kekerasan dan kekejaman para polisi Hongkong akhirnya menemui sebuah ujung. Klimaksnya, ketika Inspektur Lak mempermalukan utusan kepolisian dari London, Kolonel Charles Sutcliffe, dalam sebuah pertemuan. Lak berpikir Sutcliffe pun dapat dijinakkan dengan uang, sama seperti penjilat lainnya. Hal inilah yang manjadi titik awal berdirinya Independent Commission Against Corruption (ICAC). ICAC yang diprakarsai Gubernur Hongkong pada waktu itu, Sir Crawford Murray MacLehose, langsung bergerak dan menangkapi polisi korup bersama kaki tangannya, tanpa terkecuali Inspektur Lak dan kawan-kawannya.
Wong Jin, sang sutradara sejatinya hendak menyampaikan dengan sederhana kisah-kisah dibalik perjuangan membangun dan menegakkan Independent Commission Against Corruption (ICAC). Sejak awal mula berdirinya, 15 Februari 1974, ICAC telah menemui begitu banyak dinamika demi revolusi mental Hongkong. Godaan, ancaman, serangan, dan bahaya dipaksa berkawan dengan penyidik muda ICAC yang notabene belum paham betul kekejaman dunia mafia. Namun, ICAC paham, tugasnya tak hanya memerangi polisi korup. Mereka bertanggung jawab untuk menyembuhkan candu korupsi. Kerja keras mereka kini membuktikan, ICAC tak hanya disegani rakyat Hongkong, tetapi juga seluruh rakyat dunia. ICAC bahkan menjadi role model badan pemberantasan korupsi di berbagai negara, termasuk KPK.
ICAC berhasil mencatat prestasi gemilang di awal berdirinya. ICAC berhasil memenjarakan Peter Fitzroy Godber, perwira tinggi polisi, yang tak bisa menjelaskan darimana sumber uang di rekeningnya. Godber sempat melarikan diri ke Inggris, namun dengan segala perjuangan ICAC berhasil mengekstradisi Godber, menyita seluruh harta, dan mengganjarnya dengan kurungan 5 tahun penjara.  Namun kewibawaan ICAC pernah diuji pula. Pada 28 Oktober 1977, ratusan anggota HKPF (Hong Kong Police Force) menyerbu markas ICAC. Mereka tak terima 90% anggotanya ditangkapi ICAC karena tersandung korupsi. Gubernur Hong Kong akhirnya mengeluarkan amnesty kepada mereka dan memerintahkan ICAC untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi sejak setelah persistiwa itu saja. Dampaknya cukup besar ternyata,  HKPF mulai berbenah diri, revolusi mental besar-besaran.
Sejatinya, kondisi Hong Kong jauh lebih mengiris dada pada masa itu. Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengalami peristiwa cicak versus buaya. ICAC sama hal nya KPK, berdiri  atas dasar kejenuhan publik pada kerja polisi, jaksa, dan pengadilan. Akan tetapi, keberadaan ICAC selama 42 tahun masih belum dapat menghapuskan candu bernama korupsi itu. Menilik hal ini, wajar saja jika KPK yang baru berdiri 14 tahun masih punya tugas panjang di Indonesia. Meminjam kata-kata Goenawan Mohammad, kekuasaan ICAC dan KPK bersifat derivative, bukan sumber mandate demokrasi. Tandanya, KPK dan ICAC masih akan terus dibayang-bayangi kekuatan kekuasaan yang menjadi musuh dalam selimut. Sama hal nya dengan KPK, kekuasaannya acap kali dijegal berbagai pihak. Independensinya dipermainkan beberapa kalangan.
Kembali ke tanah air, KPK masih menjadi sumber harapan rakyat. Dengan segala pergulatannya termasuk Revisi UU 30 tahun 2002 yang akan melemahkannya, KPK tetap harus ada. Erry Riyana Hardjapamekas  (Pimpinan KPK 2003-2007), KPK adalah lembaga ad-hoc yang harus dimaknai sebagai lembaga permanen. Sama halnya dengan makna ad-hoc yang  berarti formed for a particular purpose atau “dibentuk untuk tujuan tertentu”. Dalam hal ini, KPK dibentuk dengan tujuan untuk memberantas korupsi. Sehingga apapun alasan penghapusan dan pelemahannya, sungguhlah tidak berdasar dan kontraproduktif.
I Corrupt All Cops hanya sepotong cerita sederhana. Kebutuhan rakyat akan kejujuran dan integritas jauh lebih besar daripada itu. Walaupun pimpinan KPK yang baru acap disebut sebagai hasil kesepakatan antek senayan, rakyat masih menggantungkan harga diri bangsa ini pada KPK. Perjuangan melawan korupsi bukan hanya adu banteng di sebuah colloseum yang luas, melainkan juga tiap langkah kekuasaan yang berdiri di sudut-sudut negeri ini. Tak akan pernah berakhir.