"Bicara
kualitas manusia maka prinsipnya niscaya akan hadir era meritokrasi," -Anies Baswedan-
Dalam hitungan minggu, sebagian
daerah di Indonesia akan segera menggelar hajatan tertinggi demokrasi. Data KPU
menunjukkan bahwa terdapat 9 provinsi dan 260 kabupaten/kota yang serentak mengadakan
pilkada pada 9 Desember 2015. Di sisi lain, keikutsertaan dalam memberikan hak
suara pada pilkada ini, dipandang sebagai standard
partisipasi masyarakat dalam pemenuhan tanggung jawabnya sebagai warga negara. Perlu
diketahui, sekitar 30 persen dari total pemilih di Indonesia merupakan generasi
muda atau pemilih pemula. Para pemilih pemula tersebut merupakan basis utama swing voters yang cukup menentukan arah
pengelolaan negara pada periode selanjutnya. Di sisi lain, para pemimpin dan
pemangku kebijakan sudah sepatutnya dipilih berdasar kompetensi dan
integritasnya. Tak ayal, terbersit sedikit kekhawatiran akan kemampuan pemilih
pemula dalam mengelola antusiasmenya menentukan sosok pemimpin yang tepat.
Namun demikian, jika dimanfaatkan dengan baik, antusiasme tersebut justru dapat
menjadi modal untuk mengawal penyelenggaraan pesta demokrasi, khusunya pilkada
2015. Sebetulnya, bagaimana kaum muda dapat ambil bagian mengawal
penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia? Mampukah kaum muda menjadi
generasi meritokranian yang melek
politik? Tulisan ini akan memaparkannya lebih jauh.
Pemilih Pemula, Aset Pemilu
Tak
dapat dipungkiri bahwa kondisi demografi suatu negara sangat memengaruhi
proporsi pemilih dalam pemilihan umum di negara tersebut. Bahkan, kondisi di
atas turut berdampak pada output dari pemilihan itu sendiri. Keputusan pemilih
akan menentukan apakah pemilihan umum dapat membawa perubahan, atau justru
mengulang perilaku bobrok pejabat
publik pemerintahan, penyelewengan kekuasaan berujung korupsi.
Merunut
penyelenggaraan pemilihan umum 2014, sebagian dari total pemilih di Indonesia
merupakan generasi muda. Data “Survei Pemilih Pemula Pada Pemerintah, Korupsi,
dan Pemilu 2014” milik Transparency
Indonesia(TI) menunjukkan bahwa 30 persen dari total pemilih di Indonesia
adalah pemilih pemula (17-30 tahun). Sejatinya, rata-rata pemilih pemula di
Indonesia mendapatkan kemudahan akses pendidikan politik dari berbagai media.
Senada dengan hal tersebut, Kepala Lembaga
Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Sonny Harry Harmadi pun
menambahkan, bahwa dengan tingkat pendidikan dan akses informasi yang baik,
mereka seharusnya cenderung melek
politik. (Antusiasme Pemilih Muda-
Kompas, 8 April 2014).
Jika dilihat dari partisipasi politik, sebagian besar pemilih
muda menyatakan akan menggunakan hak
pilihnya. Survei TI pada tahun 2014 kembali menyebutkan bahwa, 77% pemilih
pemula bersedia menggunakan hak suaranya dalam pemilihan presides (pilpres)
2014. Begitupun pada pemilihan legislative 2014, 63% pemilih pemula menyatakan
bersedia memberikan hak suaranya. Fenomena ini menandakan masih terjaganya
tingkat kepercayaan pemilih pemula terhadap kondisi politik yang tengah
berjalan. Paling tidak, ada kepedulian politik yang terbersit di benak mereka.
Namun, jika dilihat dari kesediaan menggali informasi politik, pemilih pemula
cenderung minim minat. Nyatanya, 48% pemilih pemula mengaku jarang mencari
informasi tentang pemilu, 33% pemilih menyatakan tidak pernah, dan sisanya
mengaku sering mencari informasi.
Apabila disandingkan, partisipasi politik dan informasi politik
dapat ditarik benang merahnya. Partisipasi politik yang tidak didukung dengan
kesediaan menggali informasi politik dapat memengaruhi pilihan politik. Alih-alih
memanfaatkan hak pilih dengan tepat, justru malah ikut-ikutankarena tak tahu siapa yang hendak dipilih. Jelas,
pemilih pemula masih menjadi basis kuat swing
voters, pemilih yang masih dapat mengubah pilihan politiknya. Terbukti, 60%
pemilih masih akan mengubah pilihan legislatifnya, sementara 35% akan mengubah
pilihan capresnya kelak.
Sejatinya, kondisi di atas mencerminkan suara pemilih pemula
yang sulit untuk ditebak namun tak terlalu sulit untuk diarahkan. Tak sedikit
sebagian kandidat yang memanfaatkan hal ini. Oleh karenanya, mereka menganggap pemilih
pemula sebagai aset pemilu nan potensial yang dapat menjadi lumbung suara.
Generasi Meritokranian
Demokrasi merupakan sistem yang
masih dipercaya masyarakat untuk menjalankan roda pemerintahan Indonesia saat
ini. Bumi Bhineka Tunggal Ika pun masih meyakini bahwa sosok pemimpin idaman
ialah mereka yang menerapkan demokrasi itu sendiri. Sejatinya, pemimpin yang
demokrasi patut disaring dari integritas dan rekam jejak kompetensinya sebagai
warga negara. Sistem demokrasi tak bisa turun ranjang layaknya aristokrasi. Sistem
demokrasi juga tak boleh dikuasai dan disetir oleh kaum-kaum elit layaknya
plutokrasi. Singkat kata, demokrasi menuntut diberlakukannya meritokrasi.
Meritokrasi adalah sistem
pemerintahan dimana para pemimpin dan pemangku kebijakannya dipilih berdasarkan
integritas, keahlian, atau prestasinya. Istilah Meritokrasi sendiri dicetuskan
oleh Michael Young dalam Rise of the
Meritocracy pada tahun 1958. Meritokrasi merujuk sebuah sistem politik yang
mengapresiasi integritas dan kompetensi seseorang dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Meritokrasi merupakan amunisi untuk melawan korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Demokrasi yang diperkuat dengan meritokrasi dinilai mampu melepaskan
negara ini dari cengkraman tikus-tikus berdasi.
Merujuk
pemaparan di atas, pilihan politik tiap pemilih lah yang sangat menentukan
keberlangsungan demokrasi berbasis meritokrasi. Jika kesadaran politik tiap
pemilih (khususnya pemilih pemula)telah mencapai titik kulminasi, tak sulit
meweujudkan hal tersebut. Terlebih jika suara para swing voters dapat digiring kearah
yang tepat. Menyikapi hal ini, sudah saatnya generasi muda menjadi pelopor
demokrasi berintegritas. Mengawal keberlangsungan pesta demokrasi negeri ini. Menjelma
menjadi generasi meritokranian.
Generasi meritokranian adalah generasi yang mampu
menaruh pilihan politik mereka pada sosok-sosok yang cakap dan bermoral Generasi meritokranian
sadar betul akan pengaruh hak suara mereka demi keberlangsungan demokrasi
bernafas meritokrasi. Dengan demikian, mereka akan mencari tahu betul siapa
kandidat legislative maupun pemimpin mereka dari berbagai media dan teknologi.
Hal ini demi pilihan politik yang tepat, kandidat dengan kompetensi yang
memadai dan berpedoman pada integritas. Alhasil, bermunculan sosok-sosok yang
lebih dari sekadar pejabat publik, sosok negarawan yang mampu menjadi tauladan.
Sejatinya,
generasi meritokranian lah yang mampu
mengawal keberlangsungan pemilihan umum di Indonesia. Antusiasme sebagai
pemilih pemula dapat mendorong inisiatif politik yang berujung pada keyakinan
mereka untuk menggunakan hak suara dengan tepat. Terlebih dengan kemudahan akses informasi
yang didukung dengan tingkat pendidikan, pemilih pemula sudah sepantasnya cerdas
bersikap. Dengan kecerdasan bersikap, generasi meritokranian diharap mampu menularkan kesadaran politiknya pada
orang lain. Di sisi lain, hal tersebut juga mampu mendorong keberanian mereka untuk
melawan penyimpangan politik yang
terjadi. Paling tidak, mereka tak menjatuhkan pilihan pada kandidat yang
terindikasi melakukan penyimpangan tersebut. Jika berbagai peran di atas
betul-betul dijalankan, generasi meritokranian
jelas menjadi katalisator utama demokrasi bermeritokrat.
Sekadar Perlu atau Penting?
Persentase
yang besar membuat pemilih pemula menjadi sasaran empuk para kandidat dan
partai politik. Dalam rangka mendekatkan diri dengan generasi muda, mereka pun
menggunakan media sosial sebagai sarana kampanyenya. Strategi lain adalah
dengan menggelar berbagai event yang
digemari generasi muda. Mulai dari konser musik, flashmob, dan iklan yang menampilkan semangat kepemudaan. Hal ini
ditempuh untuk membentuk stigma positif yang selanjutnya mengikat generasi muda
dengan sang kandidat atau partai politik tertentu. Seirama dengan kondisi itu,
Direktur Lingkaran Survei Kebijakan Publik (LSKP) Sunarto Ciptoharjono pun
turut menegaskan, bahwa partai politik membentuk preferensi pemilih muda dengan
membentuk ikatan pertama dengan mereka.
Kondisi di atas membuat suara pemilih
muda cukup rentan diombang-ambing. Psikologis yang belum matang cenderung
membuat generasi muda mudah dimanfaatkan oknum politik tertentu. Maka dari itu,
kesadaran untuk menjadi bagian dari generasi meritokranian sangatlah penting. Yang perlu diingat, suara generasi
muda turut menentukan masa depan pengelolaan negara kedepannya.
Dengan menjadi generasi meritokranian, suara generasi muda
tak mudah direbut dan dikelabui partai
tertentu. Menjadi generasi meritokranian berarti
menjadi generasi yang kritis, terutama terhadap isu korupsi yang membelit kaum
senayan dan mungkin si kandidat pemimpin. Menjadi generasi meritokranian sama saja dengan membangun benteng pertahanan dari
gelombang politik yang kian tak menentu. Menjadi generasi meritokranian berarti menjadi motor perubahan sosial.
Tanggung Jawab Bersama
Untuk
membentuk generasi meritokranian, memang
dibutuhkan pendidikan politik yang berkesinambungan. Cukupkah hanya pemerintah
yang bertanggung jawa. Jelas, jawabannya tidak.. Jika pada kenyataannya masih
ada generasi apolitis, berarti pemerintah telah gagal dalam memberikan
pendidikan politik pada warganya. Akan tetapi, disadari atau tidak, fungsi
pendidikan politik nyata-nyata juga diemban oleh partai politik. Maka, apabila
generasi muda hanya dimanfaatkan sebagai kantong suara bahkan hanya dijadikan
objek politik semata, partai politik pun turut dinyatakan gagal menjalankan
kewajiban edukasinya.
Namun demikian, kesadaran politik sepatutnya
harus dibangun sendiri oleh setiap insan muda di Indonesia. Jika generasi muda
peduli akan bangsanya, pastilah ia peduli akan pemimpin yang memimpin
bangsanya. Menjadi generasi meritokranian
hanyalah bagian kecil dari sekian banyak kewajiban kaum muda kepada ibu
pertiwi. Tantangan bangsa ini jauh lebih besar, perjalanan meneruskan
perjuangan para founding fathers masih
cukup panjang. Pertanyaannya, sudahkah kita menjadi bagian dari generasi meritokranian?
Bahan Bacaan
“Antusiasme
Pemilih Muda” kompas.com, Senin, 19 Oktober 2015
“Melirik Generasi Apolitis yang Kian Kronis” beritasatu.com, 21 Juni 2013
Transparency
Indonesia, Survei Pemilih Pemula Pada Pemerintah, Korupsi, dan Pemilu 2014