Minggu, 03 Januari 2016

“I Corrupt All Cops” Membongkar Candu Korupsi Atas Nama Revolusi

Segerombol orang terlibat adu mulut di atas sebuah flat. Tak berapa lama, seorang pria dilempar dari flat tersebut. Tewas bersimbah darah. Seorang wanita tua yang melihat kejadian tersebut, seketika meniup peluit, memanggil polisi patroli. Dalam hitungan menit, datanglah dua orang polisi menanyakan apa yang telah terjadi. Beberapa orang turun dari atas flat, mereka memberikan sejumlah uang tutup mulut pada dua polisi tersebut, mengisyaratkan hanya terjadi tindak bunuh diri, bukan pembunuhan.  Si wanita tua kembali meyakinkan bahwa telah terjadi pembunuhan. Namun, percuma saja, para polisi sudah disumpal dengan black money.
Potongan cerita di atas adalah bagian dari film I Corrupt All Cops, film yang menceritakan betapa korupsi telah menjadi candu di Hongkong pada tahun 1970-an. Hal yang menjadi sorotan adalah instansi yang kecanduan, kepolisian. Bagaimana tidak, Kepala kepolisian, Inspektor Lak Chui menjadi beking seorang mafia kelas kakap bernama Gold. Disisi lain, diceritakan pula sosok-sosok polisi nakal seperti Unicorn Tang dan Gale Chan yang tak lain adalah anak buah Lak Chui. Sungguh, sulit membedakan antara polisi dan mafia di era tersebut. Singkat cerita, geng mafia berseragam polisi telah membentuk kerajaannya sendiri.
Di sisi lain, para mafia berseragam inipun terbiasa dengan kekerasan dan penyiksaan untuk mendapatkan tersangka dalam suatu kasus. Acap kali mereka mencari korban rekayasa lalu dipaksa dan disiksa untuk mengaku sebagai tersangka. Hal ini digambarkan dalam adegan penyiksaan yang harus dialami seorang mahasiswa bernama Bong. Ia ditangkap dan disiksa dengan tubuh digantung hingga berdarah-darah, hanya untuk mengakui apa yang tak pernah ia lakukan.
Namun, kekerasan dan kekejaman para polisi Hongkong akhirnya menemui sebuah ujung. Klimaksnya, ketika Inspektur Lak mempermalukan utusan kepolisian dari London, Kolonel Charles Sutcliffe, dalam sebuah pertemuan. Lak berpikir Sutcliffe pun dapat dijinakkan dengan uang, sama seperti penjilat lainnya. Hal inilah yang manjadi titik awal berdirinya Independent Commission Against Corruption (ICAC). ICAC yang diprakarsai Gubernur Hongkong pada waktu itu, Sir Crawford Murray MacLehose, langsung bergerak dan menangkapi polisi korup bersama kaki tangannya, tanpa terkecuali Inspektur Lak dan kawan-kawannya.
Wong Jin, sang sutradara sejatinya hendak menyampaikan dengan sederhana kisah-kisah dibalik perjuangan membangun dan menegakkan Independent Commission Against Corruption (ICAC). Sejak awal mula berdirinya, 15 Februari 1974, ICAC telah menemui begitu banyak dinamika demi revolusi mental Hongkong. Godaan, ancaman, serangan, dan bahaya dipaksa berkawan dengan penyidik muda ICAC yang notabene belum paham betul kekejaman dunia mafia. Namun, ICAC paham, tugasnya tak hanya memerangi polisi korup. Mereka bertanggung jawab untuk menyembuhkan candu korupsi. Kerja keras mereka kini membuktikan, ICAC tak hanya disegani rakyat Hongkong, tetapi juga seluruh rakyat dunia. ICAC bahkan menjadi role model badan pemberantasan korupsi di berbagai negara, termasuk KPK.
ICAC berhasil mencatat prestasi gemilang di awal berdirinya. ICAC berhasil memenjarakan Peter Fitzroy Godber, perwira tinggi polisi, yang tak bisa menjelaskan darimana sumber uang di rekeningnya. Godber sempat melarikan diri ke Inggris, namun dengan segala perjuangan ICAC berhasil mengekstradisi Godber, menyita seluruh harta, dan mengganjarnya dengan kurungan 5 tahun penjara.  Namun kewibawaan ICAC pernah diuji pula. Pada 28 Oktober 1977, ratusan anggota HKPF (Hong Kong Police Force) menyerbu markas ICAC. Mereka tak terima 90% anggotanya ditangkapi ICAC karena tersandung korupsi. Gubernur Hong Kong akhirnya mengeluarkan amnesty kepada mereka dan memerintahkan ICAC untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi sejak setelah persistiwa itu saja. Dampaknya cukup besar ternyata,  HKPF mulai berbenah diri, revolusi mental besar-besaran.
Sejatinya, kondisi Hong Kong jauh lebih mengiris dada pada masa itu. Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengalami peristiwa cicak versus buaya. ICAC sama hal nya KPK, berdiri  atas dasar kejenuhan publik pada kerja polisi, jaksa, dan pengadilan. Akan tetapi, keberadaan ICAC selama 42 tahun masih belum dapat menghapuskan candu bernama korupsi itu. Menilik hal ini, wajar saja jika KPK yang baru berdiri 14 tahun masih punya tugas panjang di Indonesia. Meminjam kata-kata Goenawan Mohammad, kekuasaan ICAC dan KPK bersifat derivative, bukan sumber mandate demokrasi. Tandanya, KPK dan ICAC masih akan terus dibayang-bayangi kekuatan kekuasaan yang menjadi musuh dalam selimut. Sama hal nya dengan KPK, kekuasaannya acap kali dijegal berbagai pihak. Independensinya dipermainkan beberapa kalangan.
Kembali ke tanah air, KPK masih menjadi sumber harapan rakyat. Dengan segala pergulatannya termasuk Revisi UU 30 tahun 2002 yang akan melemahkannya, KPK tetap harus ada. Erry Riyana Hardjapamekas  (Pimpinan KPK 2003-2007), KPK adalah lembaga ad-hoc yang harus dimaknai sebagai lembaga permanen. Sama halnya dengan makna ad-hoc yang  berarti formed for a particular purpose atau “dibentuk untuk tujuan tertentu”. Dalam hal ini, KPK dibentuk dengan tujuan untuk memberantas korupsi. Sehingga apapun alasan penghapusan dan pelemahannya, sungguhlah tidak berdasar dan kontraproduktif.
I Corrupt All Cops hanya sepotong cerita sederhana. Kebutuhan rakyat akan kejujuran dan integritas jauh lebih besar daripada itu. Walaupun pimpinan KPK yang baru acap disebut sebagai hasil kesepakatan antek senayan, rakyat masih menggantungkan harga diri bangsa ini pada KPK. Perjuangan melawan korupsi bukan hanya adu banteng di sebuah colloseum yang luas, melainkan juga tiap langkah kekuasaan yang berdiri di sudut-sudut negeri ini. Tak akan pernah berakhir.