Segerombol orang terlibat adu mulut di atas
sebuah flat. Tak berapa lama, seorang
pria dilempar dari flat tersebut. Tewas
bersimbah darah. Seorang wanita tua yang melihat kejadian tersebut, seketika
meniup peluit, memanggil polisi patroli. Dalam hitungan menit, datanglah dua
orang polisi menanyakan apa yang telah terjadi. Beberapa orang turun dari atas flat, mereka memberikan sejumlah uang tutup
mulut pada dua polisi tersebut, mengisyaratkan hanya terjadi tindak bunuh diri,
bukan pembunuhan. Si wanita tua kembali
meyakinkan bahwa telah terjadi pembunuhan. Namun, percuma saja, para polisi
sudah disumpal dengan black money.
Potongan cerita di atas adalah bagian dari
film I Corrupt All Cops, film yang
menceritakan betapa korupsi telah menjadi candu di Hongkong pada tahun 1970-an.
Hal yang menjadi sorotan adalah instansi yang kecanduan, kepolisian. Bagaimana tidak,
Kepala kepolisian, Inspektor Lak Chui menjadi beking seorang mafia kelas kakap
bernama Gold. Disisi lain, diceritakan pula sosok-sosok polisi nakal seperti
Unicorn Tang dan Gale Chan yang tak lain adalah anak buah Lak Chui. Sungguh,
sulit membedakan antara polisi dan mafia di era tersebut. Singkat cerita, geng
mafia berseragam polisi telah membentuk kerajaannya sendiri.
Di sisi lain, para mafia berseragam inipun
terbiasa dengan kekerasan dan penyiksaan untuk mendapatkan tersangka dalam
suatu kasus. Acap kali mereka mencari korban rekayasa lalu dipaksa dan disiksa
untuk mengaku sebagai tersangka. Hal ini digambarkan dalam adegan penyiksaan
yang harus dialami seorang mahasiswa bernama Bong. Ia ditangkap dan disiksa
dengan tubuh digantung hingga berdarah-darah, hanya untuk mengakui apa yang tak
pernah ia lakukan.
Namun, kekerasan dan kekejaman para polisi
Hongkong akhirnya menemui sebuah ujung. Klimaksnya, ketika Inspektur Lak
mempermalukan utusan kepolisian dari London, Kolonel Charles Sutcliffe, dalam sebuah
pertemuan. Lak berpikir Sutcliffe pun dapat dijinakkan dengan uang, sama
seperti penjilat lainnya. Hal inilah yang manjadi titik awal berdirinya Independent Commission Against Corruption (ICAC). ICAC yang diprakarsai Gubernur Hongkong pada waktu
itu, Sir Crawford Murray MacLehose, langsung
bergerak dan menangkapi polisi korup bersama kaki tangannya, tanpa terkecuali
Inspektur Lak dan kawan-kawannya.
Wong Jin, sang sutradara sejatinya hendak
menyampaikan dengan sederhana kisah-kisah dibalik perjuangan membangun dan menegakkan Independent Commission Against Corruption (ICAC).
Sejak awal mula berdirinya,
15 Februari 1974, ICAC telah menemui begitu banyak dinamika demi revolusi mental
Hongkong. Godaan, ancaman, serangan, dan bahaya dipaksa berkawan dengan
penyidik muda ICAC yang notabene belum paham betul kekejaman dunia mafia. Namun,
ICAC paham, tugasnya tak hanya memerangi polisi korup. Mereka bertanggung jawab
untuk menyembuhkan candu korupsi. Kerja keras mereka kini membuktikan, ICAC tak
hanya disegani rakyat Hongkong, tetapi juga seluruh rakyat dunia. ICAC bahkan
menjadi role model badan pemberantasan korupsi di berbagai negara,
termasuk KPK.
ICAC berhasil
mencatat prestasi gemilang di awal berdirinya. ICAC berhasil memenjarakan Peter Fitzroy Godber, perwira tinggi polisi, yang tak bisa menjelaskan darimana sumber uang di
rekeningnya. Godber sempat melarikan diri ke Inggris, namun dengan segala
perjuangan ICAC berhasil mengekstradisi Godber, menyita seluruh harta, dan
mengganjarnya dengan kurungan 5 tahun penjara. Namun kewibawaan ICAC pernah diuji pula. Pada
28 Oktober 1977, ratusan anggota HKPF (Hong
Kong Police Force) menyerbu markas ICAC. Mereka tak terima 90% anggotanya
ditangkapi ICAC karena tersandung korupsi. Gubernur Hong Kong akhirnya
mengeluarkan amnesty kepada mereka dan memerintahkan ICAC untuk menyelesaikan
kasus-kasus yang terjadi sejak setelah persistiwa itu saja. Dampaknya cukup
besar ternyata, HKPF mulai berbenah
diri, revolusi mental besar-besaran.
Sejatinya, kondisi Hong Kong jauh lebih mengiris dada pada
masa itu. Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengalami peristiwa cicak
versus buaya. ICAC sama hal nya KPK, berdiri
atas dasar kejenuhan publik pada kerja polisi, jaksa, dan pengadilan. Akan
tetapi, keberadaan ICAC selama 42 tahun masih belum dapat menghapuskan candu
bernama korupsi itu. Menilik hal ini, wajar saja jika KPK yang baru berdiri 14
tahun masih punya tugas panjang di Indonesia. Meminjam kata-kata Goenawan
Mohammad, kekuasaan ICAC dan KPK bersifat derivative, bukan sumber mandate demokrasi.
Tandanya, KPK dan ICAC masih akan terus dibayang-bayangi kekuatan kekuasaan
yang menjadi musuh dalam selimut. Sama hal nya dengan KPK, kekuasaannya acap
kali dijegal berbagai pihak. Independensinya dipermainkan beberapa kalangan.
Kembali ke tanah air, KPK masih menjadi sumber harapan
rakyat. Dengan segala pergulatannya termasuk Revisi UU 30 tahun 2002 yang akan
melemahkannya, KPK tetap harus ada. Erry Riyana Hardjapamekas (Pimpinan KPK 2003-2007), KPK adalah lembaga ad-hoc
yang harus dimaknai sebagai lembaga permanen. Sama halnya dengan makna ad-hoc
yang berarti formed
for a particular purpose atau “dibentuk untuk tujuan tertentu”. Dalam hal
ini, KPK dibentuk dengan tujuan untuk memberantas korupsi. Sehingga apapun
alasan penghapusan dan pelemahannya, sungguhlah tidak berdasar dan
kontraproduktif.
I Corrupt All Cops hanya
sepotong cerita sederhana. Kebutuhan rakyat akan kejujuran dan integritas jauh
lebih besar daripada itu. Walaupun pimpinan KPK yang baru acap disebut sebagai
hasil kesepakatan antek senayan, rakyat masih menggantungkan harga diri bangsa
ini pada KPK. Perjuangan melawan korupsi bukan hanya adu banteng di sebuah colloseum yang luas, melainkan juga tiap
langkah kekuasaan yang berdiri di sudut-sudut negeri ini. Tak akan pernah
berakhir.