Kamis, 17 Maret 2016

Meritokranian: Generasi Muda Pelopor Demokrasi Berintegritas

Oleh Apriliyati Eka Subekti

"Bicara kualitas manusia maka prinsipnya niscaya akan hadir era meritokrasi,"    -Anies Baswedan-

Dalam hitungan minggu, sebagian daerah di Indonesia akan segera menggelar hajatan tertinggi demokrasi. Data KPU menunjukkan bahwa terdapat 9 provinsi dan 260 kabupaten/kota yang serentak mengadakan pilkada pada 9 Desember 2015. Di sisi lain, keikutsertaan dalam memberikan hak suara pada pilkada ini, dipandang sebagai standard partisipasi masyarakat dalam pemenuhan tanggung jawabnya sebagai warga negara. Perlu diketahui, sekitar 30 persen dari total pemilih di Indonesia merupakan generasi muda atau pemilih pemula. Para pemilih pemula tersebut merupakan basis utama swing voters yang cukup menentukan arah pengelolaan negara pada periode selanjutnya. Di sisi lain, para pemimpin dan pemangku kebijakan sudah sepatutnya dipilih berdasar kompetensi dan integritasnya. Tak ayal, terbersit sedikit kekhawatiran akan kemampuan pemilih pemula dalam mengelola antusiasmenya menentukan sosok pemimpin yang tepat. Namun demikian, jika dimanfaatkan dengan baik, antusiasme tersebut justru dapat menjadi modal untuk mengawal penyelenggaraan pesta demokrasi, khusunya pilkada 2015. Sebetulnya, bagaimana kaum muda dapat ambil bagian mengawal penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia? Mampukah kaum muda menjadi generasi meritokranian yang melek politik? Tulisan ini akan memaparkannya lebih jauh.

Pemilih Pemula, Aset Pemilu
Tak dapat dipungkiri bahwa kondisi demografi suatu negara sangat memengaruhi proporsi pemilih dalam pemilihan umum di negara tersebut. Bahkan, kondisi di atas turut berdampak pada output dari pemilihan itu sendiri. Keputusan pemilih akan menentukan apakah pemilihan umum dapat membawa perubahan, atau justru mengulang perilaku bobrok pejabat publik pemerintahan, penyelewengan kekuasaan berujung korupsi.
Merunut penyelenggaraan pemilihan umum 2014, sebagian dari total pemilih di Indonesia merupakan generasi muda. Data “Survei Pemilih Pemula Pada Pemerintah, Korupsi, dan Pemilu 2014” milik Transparency Indonesia(TI) menunjukkan bahwa 30 persen dari total pemilih di Indonesia adalah pemilih pemula (17-30 tahun). Sejatinya, rata-rata pemilih pemula di Indonesia mendapatkan kemudahan akses pendidikan politik dari berbagai media. Senada dengan hal tersebut, Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Sonny Harry Harmadi pun menambahkan, bahwa dengan tingkat pendidikan dan akses informasi yang baik, mereka seharusnya cenderung melek politik. (Antusiasme Pemilih Muda- Kompas, 8 April 2014).
Jika dilihat dari partisipasi politik, sebagian besar pemilih muda menyatakan  akan menggunakan hak pilihnya. Survei TI pada tahun 2014 kembali menyebutkan bahwa, 77% pemilih pemula bersedia menggunakan hak suaranya dalam pemilihan presides (pilpres) 2014. Begitupun pada pemilihan legislative 2014, 63% pemilih pemula menyatakan bersedia memberikan hak suaranya. Fenomena ini menandakan masih terjaganya tingkat kepercayaan pemilih pemula terhadap kondisi politik yang tengah berjalan. Paling tidak, ada kepedulian politik yang terbersit di benak mereka. Namun, jika dilihat dari kesediaan menggali informasi politik, pemilih pemula cenderung minim minat. Nyatanya, 48% pemilih pemula mengaku jarang mencari informasi tentang pemilu, 33% pemilih menyatakan tidak pernah, dan sisanya mengaku sering mencari informasi.
Apabila disandingkan, partisipasi politik dan informasi politik dapat ditarik benang merahnya. Partisipasi politik yang tidak didukung dengan kesediaan menggali informasi politik dapat memengaruhi pilihan politik. Alih-alih memanfaatkan hak pilih dengan tepat, justru malah ikut-ikutankarena tak tahu siapa yang hendak dipilih. Jelas, pemilih pemula masih menjadi basis kuat swing voters, pemilih yang masih dapat mengubah pilihan politiknya. Terbukti, 60% pemilih masih akan mengubah pilihan legislatifnya, sementara 35% akan mengubah pilihan capresnya kelak.
Sejatinya, kondisi di atas mencerminkan suara pemilih pemula yang sulit untuk ditebak namun tak terlalu sulit untuk diarahkan. Tak sedikit sebagian kandidat yang memanfaatkan hal ini. Oleh karenanya, mereka menganggap pemilih pemula sebagai aset pemilu nan potensial yang dapat menjadi lumbung suara.

Generasi Meritokranian
            Demokrasi merupakan sistem yang masih dipercaya masyarakat untuk menjalankan roda pemerintahan Indonesia saat ini. Bumi Bhineka Tunggal Ika pun masih meyakini bahwa sosok pemimpin idaman ialah mereka yang menerapkan demokrasi itu sendiri. Sejatinya, pemimpin yang demokrasi patut disaring dari integritas dan rekam jejak kompetensinya sebagai warga negara. Sistem demokrasi tak bisa turun ranjang layaknya aristokrasi. Sistem demokrasi juga tak boleh dikuasai dan disetir oleh kaum-kaum elit layaknya plutokrasi. Singkat kata, demokrasi menuntut diberlakukannya meritokrasi.
            Meritokrasi adalah sistem pemerintahan dimana para pemimpin dan pemangku kebijakannya dipilih berdasarkan integritas, keahlian, atau prestasinya. Istilah Meritokrasi sendiri dicetuskan oleh Michael Young dalam Rise of the Meritocracy pada tahun 1958. Meritokrasi merujuk sebuah sistem politik yang mengapresiasi integritas dan kompetensi seseorang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meritokrasi merupakan amunisi untuk melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Demokrasi yang diperkuat dengan meritokrasi dinilai mampu melepaskan negara ini dari cengkraman tikus-tikus berdasi.
            Merujuk pemaparan di atas, pilihan politik tiap pemilih lah yang sangat menentukan keberlangsungan demokrasi berbasis meritokrasi. Jika kesadaran politik tiap pemilih (khususnya pemilih pemula)telah mencapai titik kulminasi, tak sulit meweujudkan hal tersebut. Terlebih jika suara para swing voters dapat digiring kearah yang tepat. Menyikapi hal ini, sudah saatnya generasi muda menjadi pelopor demokrasi berintegritas. Mengawal keberlangsungan pesta demokrasi negeri ini. Menjelma menjadi generasi meritokranian.
            Generasi meritokranian adalah generasi yang mampu menaruh pilihan politik mereka pada sosok-sosok yang cakap dan bermoral Generasi meritokranian sadar betul akan pengaruh hak suara mereka demi keberlangsungan demokrasi bernafas meritokrasi. Dengan demikian, mereka akan mencari tahu betul siapa kandidat legislative maupun pemimpin mereka dari berbagai media dan teknologi. Hal ini demi pilihan politik yang tepat, kandidat dengan kompetensi yang memadai dan berpedoman pada integritas. Alhasil, bermunculan sosok-sosok yang lebih dari sekadar pejabat publik, sosok negarawan yang mampu menjadi tauladan.
            Sejatinya, generasi meritokranian lah yang mampu mengawal keberlangsungan pemilihan umum di Indonesia. Antusiasme sebagai pemilih pemula dapat mendorong inisiatif politik yang berujung pada keyakinan mereka untuk menggunakan hak suara dengan tepat.  Terlebih dengan kemudahan akses informasi yang didukung dengan tingkat pendidikan, pemilih pemula sudah sepantasnya cerdas bersikap. Dengan kecerdasan bersikap, generasi meritokranian diharap mampu menularkan kesadaran politiknya pada orang lain. Di sisi lain, hal tersebut juga mampu mendorong keberanian mereka untuk melawan penyimpangan politik  yang terjadi. Paling tidak, mereka tak menjatuhkan pilihan pada kandidat yang terindikasi melakukan penyimpangan tersebut. Jika berbagai peran di atas betul-betul dijalankan, generasi meritokranian jelas menjadi katalisator utama demokrasi bermeritokrat.

Sekadar Perlu atau Penting?
            Persentase yang besar membuat pemilih pemula menjadi sasaran empuk para kandidat dan partai politik. Dalam rangka mendekatkan diri dengan generasi muda, mereka pun menggunakan media sosial sebagai sarana kampanyenya. Strategi lain adalah dengan menggelar berbagai event yang digemari generasi muda. Mulai dari konser musik, flashmob, dan iklan yang menampilkan semangat kepemudaan. Hal ini ditempuh untuk membentuk stigma positif yang selanjutnya mengikat generasi muda dengan sang kandidat atau partai politik tertentu. Seirama dengan kondisi itu, Direktur Lingkaran Survei Kebijakan Publik (LSKP) Sunarto Ciptoharjono pun turut menegaskan, bahwa partai politik membentuk preferensi pemilih muda dengan membentuk ikatan pertama dengan mereka.
            Kondisi di atas membuat suara pemilih muda cukup rentan diombang-ambing. Psikologis yang belum matang cenderung membuat generasi muda mudah dimanfaatkan oknum politik tertentu. Maka dari itu, kesadaran untuk menjadi bagian dari generasi meritokranian sangatlah penting. Yang perlu diingat, suara generasi muda turut menentukan masa depan pengelolaan negara kedepannya.
            Dengan menjadi generasi meritokranian, suara generasi muda tak  mudah direbut dan dikelabui partai tertentu. Menjadi generasi meritokranian berarti menjadi generasi yang kritis, terutama terhadap isu korupsi yang membelit kaum senayan dan mungkin si kandidat pemimpin. Menjadi generasi meritokranian sama saja dengan membangun benteng pertahanan dari gelombang politik yang kian tak menentu. Menjadi generasi meritokranian berarti menjadi motor perubahan sosial.
           
Tanggung Jawab Bersama
            Untuk membentuk generasi meritokranian, memang dibutuhkan pendidikan politik yang berkesinambungan. Cukupkah hanya pemerintah yang bertanggung jawa. Jelas, jawabannya tidak.. Jika pada kenyataannya masih ada generasi apolitis, berarti pemerintah telah gagal dalam memberikan pendidikan politik pada warganya. Akan tetapi, disadari atau tidak, fungsi pendidikan politik nyata-nyata juga diemban oleh partai politik. Maka, apabila generasi muda hanya dimanfaatkan sebagai kantong suara bahkan hanya dijadikan objek politik semata, partai politik pun turut dinyatakan gagal menjalankan kewajiban edukasinya.
            Namun demikian, kesadaran politik sepatutnya harus dibangun sendiri oleh setiap insan muda di Indonesia. Jika generasi muda peduli akan bangsanya, pastilah ia peduli akan pemimpin yang memimpin bangsanya. Menjadi generasi meritokranian hanyalah bagian kecil dari sekian banyak kewajiban kaum muda kepada ibu pertiwi. Tantangan bangsa ini jauh lebih besar, perjalanan meneruskan perjuangan para founding fathers masih cukup panjang. Pertanyaannya, sudahkah kita menjadi bagian dari generasi meritokranian?



Bahan Bacaan

“Antusiasme Pemilih Muda” kompas.com, Senin, 19 Oktober 2015

Demokrasi dengan Meritokrasirepublika.co.id, 20 Oktober 2015(http://www.republika.co.id/berita/kolom/teh-anget/14/03/12/n29mza-demokrasi-dengan-meritokrasi)

 

Melirik Generasi Apolitis yang Kian Kronis beritasatu.com, 21 Juni 2013

(http://www.beritasatu.com/fokus/121100-melirik-generasi-apolitis-yang-kian-kronis.html)


“Pemilih Muda Penentu Kemenangan” DW.com, 30 Maret 2014 (http://www.dw.com/id/pemilih-muda-penentu-kemenangan/a-17527983)


Transparency Indonesia, Survei Pemilih Pemula Pada Pemerintah, Korupsi, dan Pemilu 2014