Dalam lakon pewayangan, dikisahkan bahwa tiap orang
yang hendak memasuki gerbang kayangan suralaya
hendaknya datang dengan tubuh yang halus. Tak diizinkan bagi siapapun untuk
berani mendekati Kori Sela Matangkep dalam
kondisi tubuh yang kasar. Hal inilah yang membuat dua saudara kembar Cingkarabala dan Balaupata diperintahkan untuk menjaga Kori Sela Matangkep. Dengan fisik yang seram, tubuh besar dan
bersenjata gada, mereka menghalau hawa nafsu dan angkara murka setiap jiwa yang
hendak masuk ke kayangan suralaya.
Cingkarabala
dan Balaupata mungkin hanya lakon
belaka. Tokoh fiktif yang bisa saja khalayak liat sebagai patung tulak bala di
beberapa bangunan monumental. Namun mengamati peran dan watak kedua anak Maharesi Gopatama tersebut, seketika saya berpikir, apakah Cingkarabala dan Balaupata dulunya pernah menolak tugas berat tersebut? Pernahkah
terlintas dipikiran mereka untuk menjelma mejadi Sri Rama saja.
Saya lantas berpikir, ini sama saja dengan kenyataan
yang harus saya dan seluruh sahabat terima. Hakikat kami sebagai mukhayyar (baca: pemilih) mungkin tak
bisa kami rasakan. Singkat kata, siapa bisa menolak titah penempatan? Namun
saya teringat lagi dengan Cingkarabala dan Balaupata, bagaimanapun beratnya menjaga suralaya, mereka tak pernah mengeluh. Hingga akhrinya konsistensi dan
keteguhan hati terbukti mampu mengangkat posisi mereka menjadi dewa.
Entah mengapa, tetiba saya berpikir bahwa kita
mungkin dapat belajar dari Cingkarabala dan
Balaupata. Perkara menerima atau
tidak mungkin hanya hati masing-masing yang dapat berkonsolidasi. Namun bicara
tentang menunaikan tugas, rasanya Cingkarabala
dan Balaupata patut menjadi
tauladan. Tak pernah dalam epos pewayangan manapun mengungkap keluh kesah
saudara kembar ini. Bahkan diceritakan bahwa mereka beberapa kali perang untuk
menjaga senjata dewa dan para bidadari di kayangan. Satu hal yang perlu
diingat, Cingkarabala dan Balaupata pun senantiasa menggunakan
hati nurani dalam setiap tindakannya, sehingga terkenal sebagai sosok yang
jujur dan dapat dipercaya.
Kembali pada hakikat manusia sebagai mukhayyar, mungkin kita tak bisa memilih
mau dimana kita ditempatkan. Namun sejatinya kita masih bisa memilih, untuk
menjadi Cingkarabala dan Balaupata. Saya yakin, banyak sahabat
(tak terkecuali saya) ingin menjelma menjadi Sri Rama atau bahkan Parikesit.
Namun, kenyataan meminta kami untuk berperan bak Cingkarabala dan Balaupata. Bukan
sebagai penjaga kayangan, namun penjaga keuangan negara. Baik ibukota maupun
perbatasan negara, semua bak wengko
suralaya yang harus dirumat.
Dalam cakrawala yang lebih luas, tentu banyak kekhawatiran untuk menerima tugas
mulia tersebut. Jauh dari orang tua, sulit adaptasi, tak ada sinyal ponsel,
sampai berpisah dengan pujaan hati karena harus berlayar jauh, pastilah
terbayang. Semua seakan tak pasti, abu-abu, seperti debu tersapu angin. Namun
kita harus melihat hakikat manusia lainnya, kita adalah mukallaf. Insan yang diistimewakan dengan berbagai kelebihan,
sehingga pantas mengemban tugas dan tanggung jawab besar. Saya yakin semua
butuh proses untuk memantapkan jiwa seutuhnya. Namun, dengan ini, tak ada lagi
alasan untuk menjadi lemah menerima kenyataan yang telah ditentukan, untuk senantiasa
menjadi nagara dhana rakca seutuhnya!