Manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna karena akal dan pikirannya. Namun,entah mengapa justru sesama manusia sendiri sulit untuk memahami tiap-tiap pikiran manusia lainnya. Yes, that's about a choice they made! Ketika mereka telah menetapkan satu pilihan briliant kemudian meninggalkannya hanya untuk pilihan yang jauh berbeda, sulit rasanya untuk bisa dipercaya.
(Me)Rebut Kesempatan
Beberapa waktu yang lalu, ada seorang kawan yang seolah menyindir kawan lain di salah satu situs sosial media terkait dengan pilihan yang dibuatnya. Singkat cerita, kawan yang tersindir ini rela meninggallkan Fakultas kedokteran UNS hanya untuk kampus plat merah (baca: STAN). Saya sendiri tak paham apa yang ia maksudkan dalam hal tersebut. Namun yang pasti, saya sedikit tertegun membaca salah satu tweet nya pada saat itu.
Saya pikir, sederhana saja untuk memahaminya, rasa bersyukur kepada yang di atas. Kawan saya seolah mengingatkan kepada kawan yang lain untuk memahami perasaan orang yang mungkin tertolak mimpinya di fakultas kedokteran. Jika flashback sejenak masih segar dalam ingatan bagaimana kami semua bertempur di medan perang SNMPTN dan SBMPTN setahun yang lalu. Kala itu, perjuangannya memang luar biasa mengingat persaingan untuk mendapat satu bangku kuliah terbilang begitu ketat. Banyak dari kami yang tak lolos SNMPTN lalu bertempur di SBMPTN atau bahkan UM yang diadakan universitas. Kini, ketika bangku itu berhasil didapat, sebagian dari kami pun 'meninggalkannya' demi kampus yang lain. Kalau sudah begini, rasa-rasanya, kami seperti 'merebut' kesempatan orang lain yang sangat menghendaki bangku tersebut.
Akan tetapi, teori di atas mungkin tak berlaku jika kita bertumpu pada teori 'hidup adalah pilihan'. So that, it doesn't matter for everyone to choose their second choice even it hurts another people. Yang harus disadari, kesempatan emas diciptakan bukan untuk dipilih tanpa usaha melainkan diperebutkan oleh siapapun yang siap di garis terdepan.
Right Choice
Theodore Rosevelt pernah berkata: 'In any moment of decision, the best thing you can do is the right thing, the next best thing is the wrong thing, and the worst thing you can do is nothing'. Apa maksud quote di atas? Secara pribadi, saya mencoba menilainya dari sudut pandang paling terbelakang. Bagi saya, pilihan yang tepat selalu jatuh pada apa yang terlintas pertama kali dibenak saya.
Jauh sebelum saya menjadi mahasiswa berkalung biru, saya sempat ditanya oleh budhe di rumah, "Lia, besok lulus mau masuk kemana?"
Dengan innocent nya saya pun hanya bisa menjawab, "STAN, itu loh Sekolah Tinggi Akuntansi Negara yan kalau lulus kerja di kemenkeu".
Dan Allah ternyata benar-benar mengijabahi perkataan saya pada saat itu. Alhasil, saya hanya sempat singgah di kampus biru UGM untuk beberapa saat saja sebelum kini benar-benar menjadi mahasiswa di STAN. Di lain sisi, masih ada satu kampus lagi yang harus rela saya tinggalkan demi pilihan tersebut. Allah memang maha yang paling adil, manusia selalu dihadapkan pada banyak pilihan sebelum ia diharuskan (baca: dipaksa) untuk memilih satu diantaranya. Bagi saya kita punya andil untuk membentuk takdir kita sendiri dalam hal menentukan pilihan. Tinggal masalah kapan dan dalam hal apa itulah yang menjadi rahasia ilahi. Who knows?
0 komentar:
Posting Komentar