Oleh:
Apriliyati Eka Subekti
Mahasiswi
Program Diploma III Keuangan Spesialisasi Akuntansi
Sekolah
Tinggi Akuntansi Negara
Sebelum
“menjelajahi” catatan kecil ini, dengan riang gembira saya ingin “memamerkan”
identitas saya saat ini. “Memamerkan” dengan bangga, begitulah tepatnya. Saya
adalah salah satu mahasiswa aktif di Kampus pencetak abdi negara, Sekolah
Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Saya bukan aktifis berkaliber tinggi, baik di dalam
maupun luar kampus. Saya juga bukan sosok yang berpengaruh di ranah politik
kampus. Saya hanya senang menanggapi sesuatu yang ada di kampus melalui ketikan
jari-jari saya.
Beberapa jam
yang lalu, seorang kawan di kampus sedang tercengang membaca postingan salah
satu kompasioner di jagat dunia maya. Ketika membaca judul postingan tersebut,
jujur saya tertarik dengan pembahasan yang akan dihadirkan. “Strategi Presiden Jokowi Berantas Mafia Pajak setelah Mafia Migas”
postingan yang tak buruk, pikir saya. Sayangnya, semakin menelisik ke tengah, semakin terbahak-bahak saya
membacanya.
Lagi dan
lagi, saya menemukan postingan nyeleneh nan semprul yang sedikit
menghilangkan respek. Saya bisa jadi tak kenal dengan si penulis yang menjuluki
dirinya sebagai “Mother of The Words” itu. Namun, saya merasa tetap berhak menuliskan
catatan singkat ini.
Entah berapa orang
yang telah “melempar” paksa cap hitam pada kampus saya, sejujurnya saya sudah
gerah untuk mengungkit-ungkit problema suram para alumnus. Prinsip saya hanya
satu, kini saatnya kami (baca: Seluruh Mahasiswa STAN) mengubah yang
suram-suram itu
Sekarang,
biarkan saya sedikit bersafaat, kawan. Sebagai bagian dari civitas akademika
Kampus STAN, saya agak terganggu dengan istilah “jaringan korupsi di STAN” yang
ditulis si kompasioner. Ia menuliskan dengan jelas bahwa jaringan korupsi di Instansi perpajakan
bisa terintis sejak masih menjadi mahasiswa di STAN, karena belajar korupsi
sudah diajarkan sejak masuk sekolah pajak STAN. Argumen sesat, kata saya. Sesat
karena jelas-jelas tak ada institusi manapun yang mengajarkan keburukan
(baca:korupsi) pada anak didiknya, apalagi STAN. Sejauh saya menempuh
pendidikan di Kampus berjuluk Ali Wardhana ini, saya tak pernah diajari Principle
sampai Intermediet of Corruption.
Saya yakin kawan-kawan di spesialisasi Perpajakan pun tak pernah diajari
Pengantar Hukum Perkorupsian, yang ada malah Pengantar Hukum Perpajakan.
Bicara
masalah sistem, STAN sendiri menerapkan sistem perkuliahan yang makin hari bisa
dibilang makin ketat. Menyontek saat ujian sama dengan Drop Out. Bahkan, batas
maksimal ketidakhadiran perkuliahan hanya 3 kali per mata kuliah, lebih dari
itu tidak diperbolehkan ujian, tidak ikut ujian berarti Drop Out. Kejam? Saya
rasa kampus sangat sadar bahwa penyontek adalah bibit koruptor, makanya harus
segera dibasmi dari kampus sejak dini. Di sisi lain, kami sadar telah
disekolahkan rakyat, makanya wajib untuk tertib kuliah sampai-sampai hanya
boleh tidak datang kuliah 3 kali per semester.
Sebagai
tambahan, gerakan antikorupsi di Kampus STAN juga makin gencar dilancarkan.
Mahasiswa sendiri sering sekali mengadakan kegiatan yang bertujuan untuk
memupuk semangat antikorupsi, seperti serangkaian kegiatan “Semangat anti
Korupsi” baru-baru ini. STAN juga punya
SPEAK (Spesialisasi Anti Korupsi), salah satu Unit kegiatan mahasiswa yang
bergerak di ranah antikorupsi. Disini peran alumni-alumni yang pernah tergabung
di SPEAK bukan untuk mengajari korupsi, tetapi justru untuk memperingatkan generasi
dibawahnya bahwa setiap lahan-lahan basah bukan untuk dinikmati. Tidak
bermaksud meninggi-ninggikan, reputasi SPEAK sendiri bahkan sudah diakui KPK.
Jadi nampaknya, si kompasioner itu perlu main-main ke KPK dulu sebelum menulis
artikel mafia pajaknya.
Di sisi lain, saya pun harus menegaskan bahwa Kampus STAN
bisa dibilang mati-matian mendidik para calon punggawa keuangan negara yang
berintegritas. Beberapa waktu lalu, kampus memiliki serangkaian program character development program yang saya rasa menjadi bagian dari usaha
tersebut. Sejak masih mengikuti Dinamika (sebutan untuk acara orientasi
mahasiswa baru), nilai-nilai integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan,
dan kesempurnaan pun sudah diakrabkan di telinga saya.
Saya masih ingat perkataan yang selalu diucapkan oleh
dosen perpajakan saya, tugas masa depan mahasiswa STAN bukan sekadar sebagai
abdi negara, tetapi penjaga keuangan
negara. Dalam kamus saya, hal tersebut bukan sebatas pada pencapaian target
pajak semata, tetapi juga pada implementasi administratif hukum-hukum keuangan
negara. Andai pun ada undang-undang pajak maupun keuangan negara yang
merugikan, kami lah yang akan memperbaikinya esok. Meminjam makna Cakti
Buddhi Bhakti, dengan
segala kekuatan, tenaga, dan fikiran dan dengan budi yang luhur, kami akan
berbakti kepada Negara.
Melalui catatan ini, jelas
saya sangat menertawakan postingan si kompasioner yang terus mengaku ulung.
Besar harapan saya kepada khalayak untuk memandang setiap permasalahan yang ada
di negeri ini dari banyak dimensi, karena menarik kesimpulan hanya dari satu
dimensi merupakan hal yang tidak bisa dibenarkan sampai kapanpun. Untuk seluruh
kawan-kawanku dimanapun kalian berada, mari kita buktikan bahwa kita memang
benar-benar Nagara Dhana Rakca!
Salam Hangat, Nagara Dhana Rakca!