Bianglala Bulan November
(Catatan
kecil dari pinggiran Kampus Ali Wardhana)
Salam
super, generasi hebat Kampus Ali Wardhana! Senang rasanya jari-jari ini kembali
dapat menari. Menari untuk menghibur, sekadar mengulas hal-hal ringan namun
cukup “lucu dan menarik”. Paling tidak bisa menulis sedikit lah walaupun belum
taraf makrifat. Ya, karena saya bukan
Syekh Siti Jenar yang ilmunya sudah kemana-mana.
Beberapa minggu ini, sedang berlangsung
perhelatan pesta demokrasi di kampus tercinta. Mengaku atas nama “kampus yang
lebih baik”, beberapa kawan pun memutuskan untuk bertarung, memperebutkan tahta
Presma-Wapresma. Galang dukungan sana-sini, rekrut simpatisan dari mana-mana. Alhasil, Pose “seksi” jari pun wara-wiri di
kampus. Mulai dari brosur, kalender, banner, semua isinya gambar dua lelaki. Bahkan,
memori ponsel layar datar saya sampai penuh dengan foto, video, jargon, sampai diskusi
yang menurut saya “ringan dan lucu”.
Kalau saya tidak salah hitung, ada
tiga pasang calon yang moncer mondar mandir di galeri ponsel layar datar saya. Eh, atau mungkin masih ada calon
keempat? Ah, hanya tiga kok, yakin hanya tiga. Calon pertama,
maju dengan free spirit nya, mengaku atas nama “kehidupan
berliterasi kampus yang lebih aktif”. Perlu diingat, ini hanya istilah saya ya,
bukan jargon sang calon. Mungkin bagi mereka, literasi adalah militansi. Literasi
lebih keras dari sekadar hal lain, layaknya Tan Malaka di dalam kubur yang
mengaku suaranya akan lebih keras daripada di atas bumi. Coba kita bedah lagi,
apa program misi yang ditawarkan: menanamkan rasa cinta pada kampus,membuka
ruang ekspresi mahasiswa, penyambung lidah, optimalisasi prestasi mahasiswa,
harmonisasi alumni mahasiswa dan masih banyak lagi yang mungkin saya tak tahu. Hal
ini rencananya disokong program macam kajian riset, bedah buku, STAN Sehat dan
lainnya. Saya rasa program kajian dan riset sudah diemban PUSPA dan PKAKP,
lantas BEM mau membuat riset seperti apa nantinya, ya. Bedah buku juga saya
rasa sudah jadi acara rutin di beberapa forum, apalagi di forum diskusi elkam
saya. Menurut hemat saya sih mereka
bisa melakukan hal lain yang lebih menarik daripada itu.
Bagaimana calon kedua? Kalau yang
ini membawa kita untuk “membolang” kesana-kemari. Ya, keduanya sosok-sosok
bolang yang gemar berekspedisi. Di awal, saya berpikir, jangan-jangan nanti ada sesi “nggunung bareng
capresma-cawapresma”, sayang keburu datang
masa tenang. Kesannya, calon nomor dua ini ramah dan bersahaja, membumi
singkatnya. Ya kalau di gunung, sih namanya
pasti menggunung, lah orang kita
dibumi ya pasti membumi. Dari yang saya tahu, mereka menawarkan gerakan Pak
Anies Baswedan versi STAN, mungkin semacam kegiatan kawan-kawan saya di Bambu
Pelangi. Lalu, ada creativepreneur yang
saya rasa menjadi kegiatan kawan-kawan di SEEC. Di sisi lain, ada sesi bertatap
muka dengan mereka pula dalam satu waktu. Hanya ini? mungkin masih ada lagi
yang saya juga tak tahu. Namun, menurut hemat saya, beberapa program unggulan
mereka harusnya juga cukup dikerjakan jajaran elkam dan HMS. Sebagai badan
organisasi yang cakupannya lebih luas, mereka bisa melakukan yang “lebih” dari
sekadar melakukan kegiatan elkam semata.
Lalu, bagaimana dengan calon
terakhir? Mari kita eksplorasi calon ketiga. Dari infografis yang memenuhi
galeri saya, si capresma adalah mantan wapresma di era keemasannya. Lalu si
cawapresma? Dari periode yang sekarang, loh.
Program unggulan? Saya juga kurang begitu paham dengan apa yang ditawarkan.
Tapi ada satu yang menjadi sorotan saya, katanya mereka hendak membentuk
jaringan komunitas anti korupsi se-Indonesia. Saya jadi tambah bingung. Sejatinya,
kan sudah ada masyarakat koalisi
antikorupsi. Mungkin, minggu lalu mereka tidak ikut Konsolidasi Gerakan Antikorupsi
jilid II di Menteng. For your
information, salah satu elemen kampus antikorupsi di kampus bahkan berhasil
memelopori terbentuknya GEMA AKSI (Gerakan Mahasiswa Anti Korupsi), sebuah komunitas
anti korupsi di tataran PTK se-Indonesia. Sehingga, kesimpulannya, apa yang ditawarkan
calon nomor tiga sudah tersedia di pasaran. Lalu, bagaimana dong?
Perlu dipahami kawan, dwitunggal
yang terlihat sempurna tidak akan mungkin tanpa cacat. Tengok proklamator kita,
ketidakcocokan pun dapat terlihat di antara keduanya. Soekarno dengan Partindo nya
ingin memobilisasi masa, sedang Hatta dengan PNI nya ingin mendidik kader. Melirik
para capresma-cawapresma, saya berharap hal-hal seperti itu tidak terjadi,
walau kemungkinannya sangat besar. Dengan segala keterbatasan, dengan jarak Purnawarman-Ali
Wardhana, semoga Presma bukan sekadar mahkota mentereng dengan wapresma sebagai
perdana menteri. Jangan-jangan, bisa kencing berlari nanti.
Ya, mau tak
mau, masa tenang telah tiba. Saya akhirnya berpaksa diri untuk khusnudzon pada ketiga calon. Saya cukup
senang ada yang bicara masalah kondisi literasi, kepekaan sosial, dan
antikorupsi di kampus. Semua itu memang
hal-hal yang seharusnya dekat dengan mahasiswa bukan? Makanya, strategis
menjadi bahan kampanye! Saya yakin masing-masing calon punya kelebihan dan
kekurangan. Di sisi lain, saya yakin kawan-kawan bisa cerdas untuk menentukan
pilihan. Sudah tiba era meritokrasi, begitu bahasa inteleknya. Apalagi dengan
penuhnya memori ponsel kalian, pastilah memilih presma-wapresma jadi lebih
ringan dan menarik. Beberapa hari lagi, hari penentuan datang. Itu tandanya agitprop di kampus segera berakhir! Sekali
lagi, tulisan ini hanya catatan pinggiran, bukan untuk dibaca serius apalagi dipenthelengi terus-terusan. Hanya tarian
jari-jari saya. Karena beberapa minggu ini saya seperti naik bianglala. Awalnya
asyik, lucu dan menarik tapi lama-lama bikin
pusing :D
Saya,
Bukan timses
manapun
0 komentar:
Posting Komentar