Rindu
Kami rindu, rindu prestasi maha gemilang
Prestasi yang prestise, prestasi bulutangkis kami
Kami rindu piala thomas, rindu piala uber, rindu piala sudirman
Rindu akan pujian khalayak pada timnas bulutangkis kami
Bukan seperti sekarang, hujatan dan cacian yang selalu terlontar
Kami rindu..
Sudah sangat lama merindu!
Kami rindu, rindu prestasi maha gemilang
Prestasi yang prestise, prestasi bulutangkis kami
Kami rindu piala thomas, rindu piala uber, rindu piala sudirman
Rindu akan pujian khalayak pada timnas bulutangkis kami
Bukan seperti sekarang, hujatan dan cacian yang selalu terlontar
Kami rindu..
Sudah sangat lama merindu!
Rentetan kalimat di atas mungkin menjadi curahan hati para pecinta bulutangkis tanah air. Sebuah kerinduan, kerinduan akan bangkitnya bulutangkis Indonesia. Hal ini terasa nyata mengingat sejarah memberikan stigma positif pada perbulutangkisan Indonesia. Indonesia adalah negara besar bulutangkis. Namun demikian, seiring dengan berjalannya waktu, peta kekuatan mulai berubah. Kekuatan besar China kini yang justru mendominasi perbulutangkisan dunia. Prestasi dan prestise bulutangkis Indonesia pun mulai luntur dari lukisan indah yang telah ditorehkan para legenda bulutangkis kita di masa lalu. Setali tiga uang dengan hal di atas, dukungan rakyat Indonesia pada bulutangkis tanah air nampaknya juga mulai padam. Makin sedikit khalayak yang optimistis pada kejayaan bulutangkis Indonesia. Akan tetapi, makin banyak yang dengan jelas pesimistis. Lantas, pantaskah pesimistis itu terus disimpan oleh pecinta bulutangkis tanah air? Tak bisakah optimisme muncul dalam realita yang terjadi sekarang?
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, terasa betul kerinduan khalayak luas terhadap prestasi bulutangkis bangsa ini. Bagaimana tidak, berbagai piala supremasi bulutangkis rasa-rasanya masih belum mau pulang ke Indonesia. Jika dirunut, piala thomas saja terakhir mampir di Indonesia di tahun 2004. Di sisi lain, piala uber bahkan pulang ke Indonesia di tahun 1996. Piala sudirman mungkin yang paling lama melanglang buana dari Indonesia. Untuk pertama sekaligus satunya-satunya hingga sekarang, baru pada tahun 1989 lah piala tersebut masuk lemari trofi Indonesia.
Di lain sisi, bulutangkis sebenarnya masih mendapat kehormatan. Jika meninjau dari perolehan medali olimpiade, Indonesia terus meyumbangkan emas bagi Indonesia. Mulai dari Alan Budikusuma/Susi Susanti (1992), Rexy Mainaky/Ricky Subagja (1996), Tony Gunawan/Chandra Wijaya (2000), Taufik Hidayat (2004), dan Markis Kido/ Hendra Setiawan (2008). Namun, entah mengapa tradisi ini harus ‘dipuasakan’ pada Olimpiade London 2012. Kembali, publik pun terdiam. Makin rindu akan kejayaan Bulutangkis bangsa ini.
Sejatinya, ada satu kalimat yang tepat untuk mendeskripsikan kerinduan berbagai gelar di atas, sebuah penantian panjang. Penantian yang juga menjadi pengharapan. Harapan untuk ‘memulangkan’ segenap piala dan gelar kepada ibu pertiwi. Berangkat dari sisi inilah, terkadang komentar ‘frontal’ sering terdengar. Namun, semuanya tak lain adalah wujud kerinduan publik tanah air. Rindu mendengar gema Indonesia Raya dan sang merah putih berkibar. Kerinduan yang teramat rindu.
Ada satu hal yang menarik dari paragraf penutup di atas, komentar frontal. Para pecinta bulutangkis mungkin sudah akrab bahkan kebal dengan hal ini. Komentar frontal yang berisi cacian bahkan pesimisme senantiasa menghiasi media setiap tim bulutangkis Indonesia menelan kekalahan. Parahnya, belum berlaga saja, hal itu kadang telah terlontar. Sejatinya, kebebasan berpendapat merupakan hak setiap orang. Namun, tak sepantasnya komentar frontal dan pesimisme terhadap perbulutangkisan tanah air dimunculkan di muka khalayak.
Mungkin, bagi yang tahu betul bulutangkis, sebuah kekalahan bisa dipandang berbeda. Ada hal-hal teknis maupun non teknis yang bisa dipaparkan. Akan tetapi, khalayak tak pernah mau tahu akan hal itu. Yang khalayak luas tahu adalah kemenangan bagi bangsanya. Sebagai contoh, Indonesia takluk dari China. Indonesia hanya menurunkan pemain lapis dua sementara china menurunkan kekuatan penuh. Jelas ada perbedaan sisi dalam hal ini. Namun, khalayak tak pernah peduli dengan perbedaan itu. mereka hanya berpikir bahwa sekali kalah tetaplah kalah. Kalau sudah begini, mereka yang pesmistis pun akan tetap pesimistis.
Kubu lain pun muncul. Para pecinta bulutangkis akan mati-matian membela pahlawannya hingga titik darah penghabisan. Mulai dari ungkapan optimisme, dukungan lewat mention, facebook, sampai gerakan satu juta orang mendukung bulutangkis di rilis. Perang komentar bahkan terkadang terjadi. Yang cinta mati dengan bulutangkis akan tetap bertahan, dan berusaha menjadikan mereka yang frontal mencintai dan menghargai bulutangkis Indonesia.
Dua sisi yang hadir, antara yang optimis dan yang frontal, sejatinya punya perasaan yang sama. Kembali lagi, mendambakan kejayaan bulutangkis tanah air. Hanya perbedaannya, cara dan pelampiasan mereka begitu bertolak belakang. Antara yang frontal dan yang optimis merupakan satu paket kerinduan prestasi bulutangkis tanah air.
Kebangkitan bulutangkis tanah air adalah hal yang sangat diidamkan tak hanya oleh para pecinta bulutangkis namun juga seluruh publik Indonesia. Prestise di masa lalu selalu menjadi bayang-bayang kegemilangan bulutangkis Indonesia. Sungguh, tak rela melihat Indonesia harus tunduk di tangan pasukan gajah putih bahkan China sekalipun. Kemenangan selalu menjadi keinginan.
Namun mengembalikan kebangkitan bulutangkis Indonesia tak semudah melipat tikar. Harus diyakini bahwa jalan terjal dan berliku akan menghadang di depan mata. Biarpun demikian, semua pihak harus yakin bahwa bulutangkis Indonesia akan bangkit kembali! Bulutangkis Indonesia akan kembali pada titik kejayaannya esok! Tak pantas menyimpan pesimisme pada kondisi saat ini. Dalam persaingan antar negara yang makin ketat, semangat dan optimisme sangat dibutuhkan. Ivana Lie bahkan pernah berkata, bahwa semangat dan optimisme adalah yang nomor satu! Semangat dan optimisme ini harus dipegang tak hanya oleh para atlit, pelatih, dan jajaran kepengurusan PBSI saat ini. Semangat dan optimisme juga harus tersemat dalam sanubari seluruh publik tanah air, para pecinta bulutangkis. Semangat inilah yang sejatinya menjadi kebangkitan sejati! Kini, saatnya Indonesia bangkit! I LOVE BADMINTON!
1 komentar:
prestasi indonesia sekarang udah membanggakan kok, paling cuma cina yang levelnya masih diatas indonesia, di singapur super series kemarin malahan gelar indonesia lebih banyak dari cina
Posting Komentar