Kerlap-Kerlip
Hati
kecil itu terlalu lembut
Dan
sangat mudah dimatikan
Mungkin
aku tidak tahu makna pertemuan kita malam itu. Malam pertambatan atau justru
malam perpisahan. Waktu kala itu memang tak banyak buatku bersamamu. Hanya lusa
berselang, aku pergi. Namun, entah mengapa hatiku masih tertambat hingga
sekarang. Sejatinya, apa alasan pasti yang membuatku harus merasakan ini.
Kagum? Cinta? Aku tak peduli. Satu hal yang pasti, aku merasakannya. Perasaan
adalah satu hal yang tak perlu dicari.
Karena perasaan akan tertambat dengan sendirinya. Segera kumulai
semuanya dari sini.
Malam
hari di Yogyakarta memang bak nirwana mengembang. Seribu hal bisa dicari untuk
kemudian dinikmati. Sama halnya denganku. Di detik-detik terakhirku di kota
itu, aku mencoba meresapi suasana malam. Mencoba membaur dan merasakan hembusan
hawa yang mungkin masih bisa dikenang, dia. Aku lupa kapan pastinya hati ini
mulai bicara. Tapi seiring berjalannya waktu, semua kini mulai tertata rapi di
hatiku. Aku masih ingat banyolan konyolnya mengenai kepergianku. Aku juga belum
lupa pada lemparan senyumnya pada siapapun. Tata krama dan tindak tanduknya masih jelas pula di benakku. Sampai-sampai aku
pernah berujar, betapa senang perempuan di sampingnya. Sedetik setelah itu,
akupun terdiam sejenak. Mungkinkah, aku? But,
someday? Terlalu jauh anganku berkecamuk. Sampai-sampai aku belum rela
meninggalkan Yogyakarta dan kampus biru tercinta. Dari berbagai alasan yang
kukaji, akupun segera tahu alasannya, perasaanku.
Aku
tidak pernah mau mengatakan alasannya
adalah dia. Aku jenuh dengan rasa yang bertepuk sebelah tangan. Ya, rasa yang
harus selalu kudapatkan ketika mengagumi orang lain. Itu dulu. Kini, akan kujadikan
diriku sebagai alasan untuk meminimalisir sakit hati yang mungkin akan kudapat.
Aku
mengenalnya hanya singkat. Satu bulan saja. Malam itu, sesungguhnya bukan
sesuatu yang istimewa. Bukan hanya aku dan dia yang menjadi aktornya, ada
segelintir manusia lain. Situasinya berubah ketika hari semakin larut dan aku
tak berani pulang ke rumah. Suara ibuku di telepon makin membuatku takut.
Hingga dia mau mengantarku pulang. Sampai disini masih belum ada yang istimewa.
Maklum, aku belum pernah diboncengnya macam tas ransel.
Di lain
malam, aku masih sering bertemu dengannya. Biasa saja. Tapi perasaanku mulai
berbicara. Hal ihwalnya pun bermula sejak aku mencurahkan kegalauanku untuk
meninggalkan kampus biru. Tapi,
hatiku berangsur-angsur berubah. Kacau ketika kawanku berkata bahwa dia memang
sudah punya kekasih. Sesama fakultas, katanya. Tapi aku sulit menelannya
mentah-mentah. Sampai suatu ketika pesan singkatku bak slide yang tanpa sadar mengorek hal pribadinya itu.
A: klo ditinggal pacar, trus galauuuuu
gitu pernah mas?*kepo*
D: jrng, buat apa ditangisin, toh
juga gak bakal balik lagi
A: ciee.. pengalaman ki kayake.
Jgn” gek bermasalah sm pacarnya skr, *bercanda*
D: iy klo bermasalah, kan dianya di
Kalimantan
Ketahuan!
Pikiranku tertawa sekeras-kerasnya. Galau? Oh, tidak. Untuk apa galau. Alasan
untuk galau pun aku tak tahu. Selanjutnya, pesan singkatku dan dia malah
seperti curhat yang tak berujung. Sampai hari ini.
Aku
pernah ‘mencubit’ hubungan jarak jauhnya. Hanya sedikit. Jawabannya, entah bercanda
atau justru curhat!
A: bisa LDR toh
ternyata mas? Hihihihi.. kata orang klo LDR
bisa makin deket *ga tau teorinya darimana*
D: makin deket ma orang lain iya,
hehehehe
Siapa
ya? Penasaran. Tapi aku tak mungkin berjalan jauh di ranah itu. Cukup tahu? Ya!
Belum ada yang istimewa, bukan?
Malam berganti malam yang lain. Malam
terakhirku di Yogyakarta tepatnya. Entah kapan bisa kembali ke moment itu. Desember,
sering kuberujar tentang Desember. Tapi bisakah? Jangan-jangan, mbak Kalimantan
ke Yogya! Ya biarlah, biar dia bisa melihat kerlap-kerlip Yogya di malam hari.
Tak usah sewot. Kembali ke malamku.
Seperti yang sudah disepakati sebelumnya, aku, dia dan teman-teman sesama maba
(khusus aku = eks maba) mencoba menikmati angin malam Yogya, hitung-hitung
sebagai farewell event kecil-kecilan.
Kami semua pergi dengan sepeda motor. Khusus perempuan yang bermotor, diminta membonceng yang laki-laki. Termasuk
aku. Sebenarnya aku berharap duduk di belakang dia. Malam kala itu tanpa
rembulan. Namun, mendung yang hinggap menambah dingin atmosfir kota gudeg. Destinasi
yang pertama adalah sebuah angkringan dekat Stasiun Tugu. Kau tahu kawan, dia duduk di depanku.
Kamera digital selalu di tangannya. Sok atraktif, pungkasku dalam hati. Entah
perasaanku atau bukan, dia sempat melirik ke arahku. Mungkin memperhatikanku
yang sedari tadi hanya diam saja. Diam karena moment ini adalah moment
perpisahan yang tak tahu kapan bisa terulang lagi.
to be continued..
0 komentar:
Posting Komentar