Rabu, 21 Maret 2012

Di Bawah Jembatan Kota (Bagian 2)


”Ah, seandainya dia tidak takut berhadapan denganku, pasti aku  punya teman malam ini,” Aku tertunduk lesu. Hari ini, aku bertemu dengan seorang gadis yang hampir jadi kawanku. Pada awalnya, gadis itu memang mau mendengar perkataanku. Namun, entah mengapa ia lantas berteriak-teriak dan berlari begitu saja. Andai kepalaku yang setengah bulat ini tak dipenuhi belatung. Andai dahulu tubuhku terlahir sempurna. Semua makhluk pasti mau jadi kawanku. Dunia, mengapa kau tega membiarkanku seperti ini? Sungguh, aku sudah bosan mendengar teriakan histeris semua makhluk yang bertemu denganku. Aku muak dengan segala rasa takut dan jijik mereka padaku. Aku benci, aku benci, aku benci!

Rabu, 07 Maret 2012

Melodion untuk Marcel (Bagian 1)


Aku tak tahu sudah  berapa lama diriku duduk termenung di atas jembatan ini. Sesekali tersadar, melongok ke kiri, melongok ke kanan, lalu mendengus kesal. Otakku seperti tak dapat asupan oksigen, tak mau diajak kompromi sama sekali. Anak-anak jalanan yang sedari tadi bernyanyi di pinggir trotoar juga tak menggubrisku. Maklum, mungkin karena aku maya dari pandangan mereka. Bising suara deru bis kota, teriakan tukang bakso keliling, sampai nyanyian galau para banci di sela-sela mobil BMW juga makin membuatku tak karuan. Siapa yang bisa menolongku? Hanya itu pertanyaan yang terus menggelayuti hatiku. Sama seperti bis kota, tukang bakso, para banci dan anak-anak jalanan, hati juga tak menaruh peduli pada diriku. Aku terus terdiam. Hanya termenung hampa. Kalah pada lelahku. Tak berdaya.

Berkaca


"Taken from Google Image"
Kata hujan, Tuhan tak pernah menciptakanku untuk menyerah
Tapi, mengapa aku KALAH pada keadaan?
Menurut angin, Tuhan tak akan membiarkanku jatuh
Namun, mengapa aku TERJEREMBAB?
Langit pernah bicara kalau Tuhan selalu adil padaku
Tapi kenapa aku merasa TERSISIHKAN?
 Suatu sore, aku bertemu sekelompok nyamuk hitam
Sama seperti hujan, angin, dan langit, mereka pun bicara padaku
Aku bertanya pada mereka: Relakah kalian diciptakan Tuhan seperti ini?
Dan mereka menjawab:  Pasti! Karena Tuhan punya cara sendiri agar kami pantas tercipta sebagai makhluk di bumi ini.

Minggu, 04 Maret 2012

Sekelumit Sajak Sebatang Ilalang




"Taken from google image"
Semua orang selalu menuntutku untuk menghargai mereka, termasuk juga engkau.
Apapun bahkan sekecil biji mentimun pun selalu engkau tumpahkan padaku.
Hanya menerima, itulah aku. Cukup, cukup Tuhan! Aku ingin mundur dari ini semua.
Aku mungkin hanyalah sebatang ilalang. Namun, bukan berarti aku bebas diperlakukan. Cukup, cukup sudah kata-kata itu menghantuiku.
Berulang kali hal ini pun kau hujamkan padaku. Aku pun paham jika engkau ingin selalu dihargai dan dipahami.
Tapi, apa engkau sadar kalau sebatang ilalang ini juga punya perasaan?
Hujan telah berhenti tapi duri tajam terus menusuk ulu hatiku.  
Dan engkau, masih tertawa terbahak-bahak melihat urat nadiku mulai terburai
Lagi, kau datang ke gubukku, jadi pahlawan yang kesiangan memberi kebahagiaan
Tapi, tak sedikitpun kau pahami keberadaanku, tak sedikitpun kau junjung harkat martabatku.
Dasarnya, tak tahu atau kau lupa. Aku tetap tak bisa memaknaimu. Engkau terlanjur menjadi sebuah pohon kelapa yang tegak berdiri. Sedangkan aku? Hanya sebatang ilalang, tak pernah lebih dan akan selalu maya dipikiranmu.

04 maret 2012,
Untuk seseorang yang telah merebut kasihku

Is It Right? Sebuah Refleksi Singkat: Ke(tidak)seriusan Peraturan dan Larangan Merokok di Lingkungan Sekolah

Apabila mendengar nama Ki Hajar Dewantara, kita pasti langsung teringat dengan semboyannya yang begitu termashyur di dunia pendidikan: Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangunkarso, dan Tut Wuri Handayani. Jika diruntut secara urut, semboyan Ki Hajar Dewantara  tersebut akan bermakna: di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan.
Jelas, ketiga kalimat yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara ini  melambangkan falsafah yang luar biasa bagi  semua pelaku pendidikan di bumi pertiwi. Ketiga kalimat yang berasal dari Bahasa Jawa ini seakan telah melebur menjadi satu, menuntun semua elemen pendidikan mulai dari pelajar hingga guru di Indonesia untuk menjadi pribadi yang mampu berkarya dan juga berbudi luhur. Namun, semua tujuan mulia dibalik semboyan Ki Hajar Dewantara tersebut menjadi tak bermakna manakala kita menilik perilaku para pelajar yang jauh dari kata terpuji. Mirisnya lagi, perilaku ini kian parah terjadi bahkan mampu menjadi duri tajam yang siap merubuhkan akal waras mereka.
Salah satu dari sekian banyak perilaku buruk yang telah menjadi fenomena di kalangan para pelajar (remaja) adalah kedekatan mereka dengan benda yang bernama ”rokok”. Yang lebih memprihatinkan, benda berbentuk silinder dengan panjang kurang lebih 80 mm ini lebih bersahabat dengan para pelajar dibandingkan dengan buku-buku. Uang jajan yang para pelajar dapatkan dari orang tua dengan mudahnya direlakan untuk membeli benda semacam rokok. Bahkan, kita dengan mudah dapat menemukan para pelajar berseragam merokok di terminal, warung, dan pertigaan-pertigaan jalan.
Berbicara masalah perilaku merokok dan tingkatan pendidikan, para perokok yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) patut untuk mulai disoroti secara tajam. Hal ini dikarenakan sudah sejak satu dekade silam hingga sekarang mereka menjadi mayoritas perokok aktif dikalangan pelajar sebelum akhirnya mewariskan kebiasaan ini pada generasi-generasi di bawahnya. Para pelajar SMA yang berada pada kisaran usia 15-18 tahun tergolong sedang menghadapi masa-masa remaja pertengahan dimana emosi labilnya memuncak (Mönks, 2001) sehingga sangat mudah dipengaruhi berbagai hal baru, salah satunya rokok. Selanjutnya, pencarian identitas dan rasa penasaran menjadi kedok yang dilancarkan para pelajar ini untuk mencoba berteman dengan rokok.
Setiap institusi pendidikan khususnya Sekolah Menengah Atas (SMA) pasti memiliki peraturan-peraturan khusus bagi siswanya dan disertai dengan sanksi tegas bagi siapapun yang melanggar. Perilaku merokok pun sudah seharusnya masuk dalam peraturan ini (larangan) karena merokok jelas-jelas membawa banyak mudharat dalam aspek kehidupan termasuk aspek kesehatan. Terlebih lagi, perilaku merokok di usia muda (remaja) dapat memperpendek usia hidup orang  yang menghisapnya (Kaplan dkk 1993, Health and Human Behaviour).
Namun, masih ada saja institusi pendidikan termasuk Sekolah Menengah Atas (SMA) yang tak mengatur sanksi tegas bagi para siswanya yang merokok. Sekalipun terpasang banner tentang himbauan untuk menjauhi rokok di halaman sekolah, perilaku merokok para pelajar yang dilakukan secara diam-diam di lingkungan sekolah hanya dianggap sebagai angin lalu belaka. Hal ini hanya sekadar cukup diketahui oleh sebagian guru tanpa ada tindak lanjut yang jelas (hal ini merupakan fakta yang terjadi di sekolah penulis). Alhasil, perilaku merokok secara diam-diam di lingkungan sekolah tetap dilakukan oleh sebagian pelajar tanpa takut dikenai sanksi. Bahkan, kamar mandi sekolah turut dijadikan arena untuk menghisap rokok oleh sebagian pelajar (kenyataan ini betul-betul dialami oleh salah satu teman sekelas penulis). Ketika jam pelajaran telah berakhir, para pelajar pun tak sungkan untuk merokok di warung sekitar sekolah walaupun masih mengenakan seragam. Parahnya, mereka turut mempertontonkan hal tersebut dengan bangga dihadapan publik(Hal ini juga merupakan fakta yang terjadi di sekolah penulis ). Kalau sudah begini, pantaslah Taufik Ismail menganggap rokok sebagai Tuhan 1 cm.
Sebetulnya, tak hanya sanksi tegas yang dibutuhkan untuk mencegah para pelajar merokok. Perhatian khusus untuk memberikan pemahaman dan keyakinan pada para pelajar bahwa rokok memang tak pantas untuk dijadikan kawan sangatlah dibutuhkan. Tak dapat dipungkiri bahwa iklan, sponsor,  dan lingkungan pergaulan mampu menyeret para pelajar ke dalam perilaku merokok. Menanggapi hal tersebut, pada posisi inilah pihak sekolah seyogyanya mencegah para pelajar untuk tidak hanyut pada arus tersebut. Sebagai sebuah institusi pendidikan, sekolah tak hanya mendidik para remaja menjadi generasi yang cerdas namun juga membimbing dan mengarahkan para pelajar untuk berperilaku sebagaimana mestinya. Dalam pembelajaran, hal ini pun sudah selayaknya diimplementasikan. Contoh nyata adalah di dalam pembelajaran biologi atau sosiologi. Dalam kedua mata pelajaran tersebut, guru bisa saja menekankan dampak buruk  merokok dari aspek kesehatan dan sosial dengan nyata. Di luar itu, guru bimbingan konseling (BK) juga diharap berperan aktif melakukan pendekatan dan bimbingan pada para pelajar yang merokok. Langkah-lagkah ini juga perlu dilakukan secara berkala sehingga pelajar betul-betul dapat menjauhi rokok baik di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah.
Namun, muncul beberapa pertanyaan yang menggelitik di benak penulis. Bagaimana dengan perilaku merokok para staf dan guru di lingkungan sekolah? Apakah mereka hanya akan mengatur para siswanya tanpa mengatur diri sendiri? Tak pernahkah kita berpikir jika siswa yang melihat guru atau staf sekolahnya merokok akan meniru  perilaku itu pula?  Sekali lagi, apakah ini pantas disebut “Ing Ngarso Sung Tuladha”?  Jelas, jawabannya adalah tidak sama sekali! Menjadi hal yang sangat ironis ketika mereka menghukum siswa yang merokok namun melakukan tindakan yang sama pula di lingkungan sekolah. Apalagi, jika perilaku tersebut dilihat oleh para siswanya. Di luar sanksi, pendekatan, serta pemberian pemahaman akan bahaya merokok, memberikan contoh nyata kepada para pelajar untuk menjauhi rokok adalah hal konkret yang menjadi keseriusan pihak sekolah untuk menegakkan peraturan dan larangan merokok di sekolah. Peraturan dan larangan untuk tidak merokok di lingkungan sekolah selayaknyalah digenggam oleh semua warga sekolah. Menjadikan sekolah sebagai kawasan bebas asap rokok itulah intinya.
Sekolah sebagai kawasan bebas asap rokok diharap dapat mencegah, mengurangi, bahkan menghentikan perilaku merokok para pelajar. Langkah tersebut dirasa sangat perlu digalakkan sebagai wujud tindakan proteksi kepada generasi muda untuk menjauhi rokok. Apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh, keseriusan dalam melaksanakan peraturan dan larangan merokok di lingkungan sekolah akan lebih terasa efeknya dibandingkan dengan hanya mengumpat perusahaan rokok dan pemerintah yang tak pernah rampung membahas RPP (rancangan peraturan pemerintah) pengawasan tembakau bagi generasi muda.
Membimbing para pelajar menjadi generasi muda yang cerdas adalah peran semua institusi pendidikan termasuk Sekolah Menengah Atas (SMA). Hal ini sangatlah perlu sebab generasi muda akan melanjutkan tongkat estafet pembangunan bangsa ini. Namun, menjauhkan mereka dari bahaya yang dapat merusak jasmani dan rohani juga menjadi satu tanggung jawab institusi pendidikan yang tak bisa ditinggalkan. Menegakkan peraturan dan larangan merokok di lingkungan sekolah adalah salah satu implementasinya.
Apapun alasannya, tidak boleh ada kata “tidak serius”  di dalam menegakkan peraturan dan larangan merokok di lingkungan sekolah. Pertanyaanya tegakah institusi pendidikan membiarkan generasi muda Indonesia terpuruk dijerat asap rokok?  Apa gunanya membentuk generasi yang cerdas kalau mereka menderita kanker paru-paru? Apa bisa generasi muda melanjutkan perjuangan founding fathers bangsa ini jika terkulai lemas di rumah sakit karena kepulan asap rokok?


Berikan kepada saya sepuluh orang pemuda,
 akan saya ubah dunia!

-Soekarno-

Sabtu, 03 Maret 2012

What’s new on me in March 2012?


"Taken from Google image"


Menatap hal-hal baru yang ada di bulan ketiga, Maret 2012. Kalimat ini serius banget ya. gimana enggak? Ini adalah postingan pertama “jari-jari lia”  di tahun 2012. Jujur, saya sadar kalo banyak yang lammaaaa gak di review di blog ini. Review buat semua event, review buat live report, sampe review buat diri sendiri terabaikan! So, mari mulai ngeblog on March 2012!!