Aku tak tahu sudah berapa lama diriku duduk termenung di atas
jembatan ini. Sesekali tersadar, melongok ke kiri, melongok ke kanan, lalu mendengus
kesal. Otakku seperti tak dapat asupan oksigen, tak mau diajak kompromi sama
sekali. Anak-anak jalanan yang sedari tadi bernyanyi di pinggir trotoar juga tak
menggubrisku. Maklum, mungkin karena aku maya dari pandangan mereka. Bising
suara deru bis kota, teriakan tukang bakso keliling, sampai nyanyian galau para
banci di sela-sela mobil BMW juga makin membuatku tak karuan. Siapa yang bisa
menolongku? Hanya itu pertanyaan yang terus menggelayuti hatiku. Sama seperti
bis kota, tukang bakso, para banci dan anak-anak jalanan, hati juga tak menaruh
peduli pada diriku. Aku terus terdiam. Hanya termenung hampa. Kalah pada
lelahku. Tak berdaya.
****
”Ahhhh, makhluk apa kau ini? Enyah, enyahlah segera dari hadapanku!” Tuhan,
aku tak percaya dengan apa yang sedang kulihat sekarang. Sesosok anak kecil
berbaju piyama tanpa tempurung kepala! Ia persis seperti kelapa setengah bulat
yang ditancapkan pada sebatang kayu berbalut kain. Dia terus memandangiku dan
aku merasa tak nyaman dengan perlakuannya ini. Tanpa pikir panjang, kuberlari
secepat kilat meninggalkan anak itu. Ia tak menyerah jua. Dikejarnya aku dengan
cepat. Terus saja ia berteriak-teriak memanggilku walau sinar matahari kian
melorong. Ah, semoga saja dia kepanasan dan berhenti mengejarku.
”Kak, tunggu! Aku ini anak baik-baik, jangan takut padaku!
Kau hanya belum terbiasa saja denganku!” teriaknya sambil terus berlari.
”Kau ini gila apa tak waras? Tidak dengar kata-kataku tadi? Pergi!” kali
ini giliranku yang berteriak padanya.
”Berhenti! Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan, kak,”
tiba-tiba anak itu berada di depan mataku. Aku terkejut. Dengan nafas layaknya
orang sakit asma, mulutku masih sulit untuk menimpalinya. Tuhan, aku kembali
tak percaya, kelapa setengah bulat ini mengajakku bicara!
”Aku Ano, kakak jangan takut padaku! Kakak, tidak dengar
kata-kataku tadi? Aku ini anak baik-baik!”
Aku mulai terkendali. Kulihat Ano lebih dekat. Ada
rasa jijik terlintas di pikiranku. Bulu
kuduk yang tak berhenti bergidik makin menambah suasana horor. Perlahan,
kujernihkan otakku. Sudahlah, dia kan juga ciptaan Tuhan. Apa perlu fisiknya
kuperhitungkan. Lagipula, aku juga kesepian. Tak apalah, mungkin Ano adalah kawan
yang dikirimkan Tuhan untukku saat ini.
”Apa benar kau tahu
yang sedang kupikirkan saat ini?” tanyaku pada Ano.
Ano mengangguk seolah meyakinkanku kalau ia tahu seribu
hal. Rasa tak percayaku kembali menyeruak. Ini aneh. Mengapa dia bisa tahu aku?
Darimana pula dia tahu apa yang sedang kupikirkan? Apa ia bisa membantuku? Pikiranku kembali melayang. Dua hari lagi
adikku genap sebelas tahun dan inilah
yang membuatku bingung. Sejak lama, aku tahu
kalau melodion menjadi alat musik idamannya. Karena itulah aku ingin membeli benda
itu sebagai kejutan di hari ulang tahunnya. Sadar harganya selangit, aku pun telah
mengumpulkan uang jauh-jauh hari. Bahkan, kucoba mencari tambahan penghasilan dari
profesi baruku sebagai freelancer online. Lumayanlah, untuk
tambah-tambah saldo tabungan. Hari berganti hari, rencana untuk menyenangkan
hati adikku semakin matang. Terbayang
dibenakku bagaimana ekspresi gembiranya saat menerima hadiah dariku. Namun, semua
rencana manis itu hancur lebur setelah sebuah truk melindas tubuh kurusku satu
minggu lalu. Sore itu, aku baru saja pulang kuliah. Saat hendak menuju halte
bis, secara tiba-tiba sebuah truk menyambar dan melindasku. Aku terkapar. Aku
telah berada pada dimensi yang berbeda ketika tersadar. Oh takdir, engkau memang tak selalu berkata
indah.
”Kakak, mengapa
diam?” gusar Ano membuyarkan lamunanku.
”Ah, aku tak apa-apa! Sekarang, apa yang hendak kau
bicarakan padaku, bocah?”
Ano mendekat ke arah telingaku dan berbisik, ”Tenanglah,
kak. Aku akan segera membantumu,”
bersambung...
bersambung...
0 komentar:
Posting Komentar