Rabu, 07 Maret 2012

Melodion untuk Marcel (Bagian 1)


Aku tak tahu sudah  berapa lama diriku duduk termenung di atas jembatan ini. Sesekali tersadar, melongok ke kiri, melongok ke kanan, lalu mendengus kesal. Otakku seperti tak dapat asupan oksigen, tak mau diajak kompromi sama sekali. Anak-anak jalanan yang sedari tadi bernyanyi di pinggir trotoar juga tak menggubrisku. Maklum, mungkin karena aku maya dari pandangan mereka. Bising suara deru bis kota, teriakan tukang bakso keliling, sampai nyanyian galau para banci di sela-sela mobil BMW juga makin membuatku tak karuan. Siapa yang bisa menolongku? Hanya itu pertanyaan yang terus menggelayuti hatiku. Sama seperti bis kota, tukang bakso, para banci dan anak-anak jalanan, hati juga tak menaruh peduli pada diriku. Aku terus terdiam. Hanya termenung hampa. Kalah pada lelahku. Tak berdaya.
****
”Ahhhh, makhluk apa kau ini?  Enyah, enyahlah segera dari hadapanku!” Tuhan, aku tak percaya dengan apa yang sedang kulihat sekarang. Sesosok anak kecil berbaju piyama tanpa tempurung kepala! Ia persis seperti kelapa setengah bulat yang ditancapkan pada sebatang kayu berbalut kain. Dia terus memandangiku dan aku merasa tak nyaman dengan perlakuannya ini. Tanpa pikir panjang, kuberlari secepat kilat meninggalkan anak itu. Ia tak menyerah jua. Dikejarnya aku dengan cepat. Terus saja ia berteriak-teriak memanggilku walau sinar matahari kian melorong. Ah, semoga saja dia kepanasan dan berhenti mengejarku.
”Kak, tunggu! Aku ini anak baik-baik, jangan takut padaku! Kau hanya belum terbiasa saja denganku!” teriaknya sambil terus berlari.
”Kau ini gila apa tak waras?  Tidak dengar kata-kataku tadi? Pergi!” kali ini giliranku yang berteriak padanya.
”Berhenti! Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan, kak,” tiba-tiba anak itu berada di depan mataku. Aku terkejut. Dengan nafas layaknya orang sakit asma, mulutku masih sulit untuk menimpalinya. Tuhan, aku kembali tak percaya, kelapa setengah bulat ini mengajakku bicara!
”Aku Ano, kakak jangan takut padaku! Kakak, tidak dengar kata-kataku tadi? Aku ini anak baik-baik!”
Aku mulai terkendali. Kulihat Ano lebih dekat. Ada rasa  jijik terlintas di pikiranku. Bulu kuduk yang tak berhenti bergidik makin menambah suasana horor. Perlahan, kujernihkan otakku. Sudahlah, dia kan juga ciptaan Tuhan. Apa perlu fisiknya kuperhitungkan. Lagipula, aku juga kesepian. Tak apalah, mungkin Ano adalah kawan yang dikirimkan Tuhan untukku saat ini.
”Apa benar kau tahu  yang sedang kupikirkan saat ini?” tanyaku pada Ano.
Ano mengangguk seolah meyakinkanku kalau ia tahu seribu hal. Rasa tak percayaku kembali menyeruak. Ini aneh. Mengapa dia bisa tahu aku? Darimana pula dia tahu apa yang sedang kupikirkan? Apa ia bisa membantuku?  Pikiranku kembali melayang. Dua hari lagi adikku  genap sebelas tahun dan inilah yang membuatku bingung.  Sejak lama, aku tahu kalau melodion menjadi alat musik idamannya. Karena itulah aku ingin membeli benda itu sebagai kejutan di hari ulang tahunnya. Sadar harganya selangit, aku pun telah mengumpulkan uang jauh-jauh hari. Bahkan, kucoba mencari tambahan penghasilan dari profesi baruku sebagai  freelancer online. Lumayanlah, untuk tambah-tambah saldo tabungan. Hari berganti hari, rencana untuk menyenangkan hati adikku semakin matang.  Terbayang dibenakku bagaimana ekspresi gembiranya saat menerima hadiah dariku. Namun, semua rencana manis itu hancur lebur setelah sebuah truk melindas tubuh kurusku satu minggu lalu. Sore itu, aku baru saja pulang kuliah. Saat hendak menuju halte bis, secara tiba-tiba sebuah truk menyambar dan melindasku. Aku terkapar. Aku telah berada pada dimensi yang berbeda ketika tersadar.  Oh takdir, engkau memang tak selalu berkata indah.
 ”Kakak, mengapa diam?” gusar Ano membuyarkan lamunanku.
”Ah, aku tak apa-apa! Sekarang, apa yang hendak kau bicarakan padaku, bocah?”
Ano mendekat ke arah telingaku dan berbisik, ”Tenanglah, kak. Aku akan segera membantumu,”

bersambung...

0 komentar:

Posting Komentar