Apabila mendengar nama Ki Hajar Dewantara, kita
pasti langsung teringat dengan semboyannya yang begitu termashyur di dunia
pendidikan: Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangunkarso, dan Tut Wuri
Handayani. Jika diruntut secara urut, semboyan Ki Hajar Dewantara tersebut akan bermakna: di depan memberi
contoh, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan.
Jelas, ketiga kalimat yang dicetuskan oleh Ki
Hajar Dewantara ini melambangkan
falsafah yang luar biasa bagi semua
pelaku pendidikan di bumi pertiwi. Ketiga kalimat yang berasal dari Bahasa Jawa
ini seakan telah melebur menjadi satu, menuntun semua elemen pendidikan mulai
dari pelajar hingga guru di Indonesia untuk menjadi pribadi yang mampu berkarya
dan juga berbudi luhur. Namun, semua tujuan mulia dibalik semboyan Ki Hajar
Dewantara tersebut menjadi tak bermakna manakala kita menilik perilaku para
pelajar yang jauh dari kata terpuji. Mirisnya lagi, perilaku ini kian parah
terjadi bahkan mampu menjadi duri tajam yang siap merubuhkan akal waras mereka.
Salah satu dari sekian banyak perilaku buruk yang telah
menjadi fenomena di kalangan para pelajar (remaja) adalah kedekatan mereka
dengan benda yang bernama ”rokok”. Yang lebih memprihatinkan, benda berbentuk
silinder dengan panjang kurang lebih 80 mm ini lebih bersahabat dengan para pelajar
dibandingkan dengan buku-buku. Uang jajan yang para pelajar dapatkan dari orang
tua dengan mudahnya direlakan untuk membeli benda semacam rokok. Bahkan, kita
dengan mudah dapat menemukan para pelajar berseragam merokok di terminal,
warung, dan pertigaan-pertigaan jalan.
Berbicara masalah perilaku merokok dan tingkatan
pendidikan, para perokok yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA)
patut untuk mulai disoroti secara tajam. Hal ini dikarenakan sudah sejak satu
dekade silam hingga sekarang mereka menjadi mayoritas perokok aktif dikalangan
pelajar sebelum akhirnya mewariskan kebiasaan ini pada generasi-generasi di
bawahnya. Para pelajar SMA yang berada pada kisaran usia 15-18 tahun tergolong
sedang menghadapi masa-masa remaja pertengahan dimana emosi labilnya memuncak (Mönks, 2001) sehingga sangat mudah
dipengaruhi berbagai hal baru, salah satunya rokok. Selanjutnya, pencarian
identitas dan rasa penasaran menjadi kedok yang dilancarkan para pelajar ini
untuk mencoba berteman dengan rokok.
Setiap institusi pendidikan khususnya Sekolah
Menengah Atas (SMA) pasti memiliki peraturan-peraturan khusus bagi siswanya dan
disertai dengan sanksi tegas bagi siapapun yang melanggar. Perilaku merokok pun
sudah seharusnya masuk dalam peraturan ini (larangan) karena merokok
jelas-jelas membawa banyak mudharat dalam aspek kehidupan termasuk aspek
kesehatan. Terlebih lagi, perilaku merokok di usia muda (remaja) dapat
memperpendek usia hidup orang yang
menghisapnya (Kaplan dkk 1993, Health
and Human Behaviour).
Namun, masih ada saja institusi pendidikan termasuk
Sekolah Menengah Atas (SMA) yang tak mengatur sanksi tegas bagi para siswanya
yang merokok. Sekalipun terpasang banner tentang himbauan untuk menjauhi rokok
di halaman sekolah, perilaku merokok para pelajar yang dilakukan secara
diam-diam di lingkungan sekolah hanya dianggap sebagai angin lalu belaka. Hal
ini hanya sekadar cukup diketahui oleh sebagian guru tanpa ada tindak lanjut yang
jelas (hal ini merupakan fakta yang terjadi di sekolah penulis). Alhasil,
perilaku merokok secara diam-diam di lingkungan sekolah tetap dilakukan oleh
sebagian pelajar tanpa takut dikenai sanksi. Bahkan, kamar mandi sekolah turut
dijadikan arena untuk menghisap rokok oleh sebagian pelajar (kenyataan ini betul-betul
dialami oleh salah satu teman sekelas penulis). Ketika jam pelajaran telah
berakhir, para pelajar pun tak sungkan untuk merokok di warung sekitar sekolah walaupun
masih mengenakan seragam. Parahnya, mereka turut mempertontonkan hal tersebut dengan
bangga dihadapan publik(Hal ini juga merupakan fakta yang terjadi di sekolah
penulis ). Kalau sudah begini, pantaslah Taufik Ismail menganggap rokok sebagai
Tuhan 1 cm.
Sebetulnya, tak hanya sanksi tegas yang dibutuhkan untuk mencegah para
pelajar merokok. Perhatian khusus untuk memberikan pemahaman dan keyakinan pada
para pelajar bahwa rokok memang tak pantas untuk dijadikan kawan sangatlah
dibutuhkan. Tak dapat dipungkiri bahwa iklan, sponsor, dan lingkungan pergaulan mampu menyeret para
pelajar ke dalam perilaku merokok. Menanggapi hal tersebut, pada posisi inilah
pihak sekolah seyogyanya mencegah para pelajar untuk tidak hanyut pada arus
tersebut. Sebagai sebuah institusi pendidikan, sekolah tak hanya mendidik para
remaja menjadi generasi yang cerdas namun juga membimbing dan mengarahkan para
pelajar untuk berperilaku sebagaimana mestinya. Dalam pembelajaran, hal ini pun
sudah selayaknya diimplementasikan. Contoh nyata adalah di dalam pembelajaran
biologi atau sosiologi. Dalam kedua mata pelajaran tersebut, guru bisa saja
menekankan dampak buruk merokok dari
aspek kesehatan dan sosial dengan nyata. Di luar itu, guru bimbingan konseling (BK)
juga diharap berperan aktif melakukan pendekatan dan bimbingan pada para
pelajar yang merokok. Langkah-lagkah ini juga perlu dilakukan secara berkala
sehingga pelajar betul-betul dapat menjauhi rokok baik di lingkungan sekolah
maupun di luar lingkungan sekolah.
Namun, muncul beberapa pertanyaan yang menggelitik di benak penulis.
Bagaimana dengan perilaku merokok para staf dan guru di lingkungan sekolah? Apakah
mereka hanya akan mengatur para siswanya tanpa mengatur diri sendiri? Tak
pernahkah kita berpikir jika siswa yang melihat guru atau staf sekolahnya
merokok akan meniru perilaku itu
pula? Sekali lagi, apakah ini pantas
disebut “Ing Ngarso Sung Tuladha”?
Jelas, jawabannya adalah tidak sama sekali! Menjadi hal yang sangat
ironis ketika mereka menghukum siswa yang merokok namun melakukan tindakan yang
sama pula di lingkungan sekolah. Apalagi, jika perilaku tersebut dilihat oleh
para siswanya. Di luar sanksi, pendekatan, serta pemberian pemahaman akan
bahaya merokok, memberikan contoh nyata kepada para pelajar untuk menjauhi
rokok adalah hal konkret yang menjadi keseriusan pihak sekolah untuk menegakkan
peraturan dan larangan merokok di sekolah. Peraturan dan larangan untuk tidak
merokok di lingkungan sekolah selayaknyalah digenggam oleh semua warga sekolah.
Menjadikan sekolah sebagai kawasan bebas asap rokok itulah intinya.
Sekolah sebagai kawasan bebas asap rokok diharap dapat mencegah,
mengurangi, bahkan menghentikan perilaku merokok para pelajar. Langkah tersebut
dirasa sangat perlu digalakkan sebagai wujud tindakan proteksi kepada generasi
muda untuk menjauhi rokok. Apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh, keseriusan
dalam melaksanakan peraturan dan larangan merokok di lingkungan sekolah akan
lebih terasa efeknya dibandingkan dengan hanya mengumpat perusahaan rokok dan
pemerintah yang tak pernah rampung membahas RPP (rancangan peraturan
pemerintah) pengawasan tembakau bagi generasi muda.
Membimbing para pelajar menjadi generasi muda yang cerdas adalah peran
semua institusi pendidikan termasuk Sekolah Menengah Atas (SMA). Hal ini
sangatlah perlu sebab generasi muda akan melanjutkan tongkat estafet
pembangunan bangsa ini. Namun, menjauhkan mereka dari bahaya yang dapat merusak
jasmani dan rohani juga menjadi satu tanggung jawab institusi pendidikan yang
tak bisa ditinggalkan. Menegakkan peraturan dan larangan merokok di lingkungan
sekolah adalah salah satu implementasinya.
Apapun alasannya, tidak boleh ada kata “tidak serius” di dalam menegakkan peraturan dan larangan merokok
di lingkungan sekolah. Pertanyaanya tegakah institusi pendidikan membiarkan
generasi muda Indonesia terpuruk dijerat asap rokok? Apa gunanya membentuk generasi yang cerdas
kalau mereka menderita kanker paru-paru? Apa bisa generasi muda melanjutkan perjuangan
founding fathers bangsa ini jika
terkulai lemas di rumah sakit karena kepulan asap rokok?
“Berikan kepada saya sepuluh orang pemuda,
akan saya ubah
dunia!”
-Soekarno-
0 komentar:
Posting Komentar