”Ah, seandainya dia tidak takut
berhadapan denganku, pasti aku punya teman
malam ini,” Aku tertunduk lesu. Hari ini, aku bertemu dengan seorang gadis
yang hampir jadi kawanku. Pada awalnya, gadis itu memang mau mendengar perkataanku.
Namun, entah mengapa ia lantas berteriak-teriak dan berlari begitu saja. Andai kepalaku
yang setengah bulat ini tak dipenuhi belatung. Andai dahulu tubuhku terlahir
sempurna. Semua makhluk pasti mau jadi kawanku. Dunia, mengapa kau tega
membiarkanku seperti ini? Sungguh, aku sudah bosan mendengar teriakan histeris semua
makhluk yang bertemu denganku. Aku muak dengan segala rasa takut dan jijik
mereka padaku. Aku benci, aku benci, aku benci!
Sudah tiga puluh empat tahun berlalu sejak ibu
tega menghabisiku. Selama itu pula aku tinggal seorang diri di sini, di bawah
jembatan kota. Tak banyak yang bisa kulakukan selain memandangi retorika kehidupan
manusia di atas jembatan. Mulai dari tangisan anak jalanan, pertengkaran dua
sejoli, penemuan mayat bayi, bahkan orang yang gagal bunuh diri pernah kulihat
dari bawah sini.
Aku
nampak biasa-biasa saja menanggapi semua kejadian tersebut. Mungkin, hal ini
akibat anggapan miringku pada manusia. Aku pikir, manusia
hanya bisa memahami dirinya sendiri. Manusia juga kejam. Buktinya, Ibuku! Hanya karena
aku terlahir cacat, Ia rela melemparku dari atas jembatan ini. Manusia memang
makhluk egois, sangat egois dan paling egois di muka bumi.
***
Mungkin, Stigma burukku pada
manusia semakin parah jika aku tak bertemu dengan Elda. Aku melihatnya pertama
kali di halte bis dekat jembatan ini. Kala itu, kulihat dia sedang menolong
pengemis yang hampir terserempet truk. Aku tak menyangka, ternyata masih ada orang
baik sepertinya. Sayang, justru Elda yang direnggut nyawanya oleh truk lain di keesokan hari.
Aku masih ingat bagaimana sebuah truk melaju kencang tanpa kendali saat hari mulai sore.
Tak kusangka, Elda hendak menyeberang di jalan dan waktu yang sama. Aku ingin memperingatkan Elda tapi sudah terlambat. Dengan
cepat truk itu menyambar Elda. Tubuh mungil Elda terkulai kaku seketika. Darah
mengucur deras dari tubuhnya. Cairan kental itu seakan memisahkan nyawa di antara
raganya. Mengharuskan Elda menerima kenyataan untuk bersatu dengan alamku. Jujur,
Aku tak ingin kejadian itu menimpa manusia seperti Elda. Aku ingin mencegah semuanya. Aku ingin
menolongnya saat itu juga. Namun, aku begitu lemah untuk melakukan semuanya, aku
tak mampu.
Hari-hari berikutnya, lebih banyak kulihat Elda duduk melamun di
atas tiang jembatan. Memang, Ia menjadi ”penghuni baru” jembatan sejak kejadian
tragis sore itu. Setiap pagi, siang, hingga malam, Ia selalu murung. Sepertinya, ada hal yang membuat kepergian Elda belum tenang. Pernah pula kudengar Elda menyebut kata-kata “ulang tahun” dan “melodion”. Namun, aku hanya bisa menduga-duga masalah yang mengikat Elda. Berulang kali kuingin mengajak Elda bicara, berulang kali pula kuurungkan
niat itu. Aku tak ingin mendengar teriakan ketakutan darinya. Bagiku, itu hanya menggenapkan jumlah teriakan yang pernah kuterima menjadi seribu kali.
Akhirnya, naluri kenekatanku mencuat jua. Aku tak peduli berapa banyak lagi teriakan ketakutan akan kudapat. Aku hanya peduli pada keadaan Elda. Tadi siang, kudekati Elda. Sesuai dugaan, Ia langsung menunjukkan ekspresi kagetnya saat tiba-tiba melihatku. Aku paham, tindakanku itu adalah satu langkah bodoh. Tapi, biarlah! Yang penting, aku sudah memberinya tanda kehidupan. Kehidupan
di sebuah dunia lain. Kehidupan yang juga membutuhkan kawan dan kebersamaan. Malam ini, Aku sudah membuat keputusan. Aku ingin membalas kebodohanku yang telah membiarkan nyawa Elda pergi. Seburuk apapun
Elda menilaiku, aku ingin membuatnya tak murung lagi. Aku ingin meringankan bebannya. Aku ingin menolongnya sebisaku. Elda pasti akan mencariku karena ia belum punya teman di alam barunya ini . Tekadku sudah bulat, akan kutunggu Elda dari tempatku kini, di bawah jembatan kota.
bersambung...
0 komentar:
Posting Komentar