Abad ke-21 bisa dikatakan sebagai eranya ‘News in Technology’. Bagaimana
tidak, transisi analog ke digital, rupanya tak berhenti pada media elektronik
saja. Pesatnya persebaran informasi telah membuat ‘dunia digital’ turut
merambah media massa. Kini, media massa besar seperti harian Tempo dan Tribun
siap memenuhi dahaga pembaca akan berita teraktual melalui kanal berita online.
Berkebalikan dari hal di atas, bermunculan pula berbagai situs berita online yang
akhirnya menelurkan produk beritanya dalam bentuk hard cover. Salah satu yang popular
di kalangan masyarakat adalah Detik.com. Sejatinya, bagaimanakah esensi dari
ketiga media online di atas jika ditinjau dari segi jurnalisme? Apakah berita
yang dihadirkan hanya mengejar aktualitas? Ataukah hanya mengedepankan kritik
pedas yang menambah kernyitan dahi para pembaca? Temukan jawabannya dalam
tulisan ini.
Sabtu, 26 Oktober 2013
Jumat, 18 Oktober 2013
Jurnalisme: Sebuah Sastra yang ’Bergegas’
Ranah jurnalisme bisa
diibaratkan bak lautan luas. Sewaktu-waktu dapat menimbulkan riak opini yang
tak seberapa. Namun, terkadang menjelma menjadi gelombang besar yang siap
menggulung seluruh fakta. Di sisi lain, ranah jurnalisme sendiri tak melulu
berkutat dengan dunia tulis menulis. Jurnalisme sejatinya adalah bagian dari
sebuah seni. Seni sastra yang sangat menggoda dan patut untuk didalami.
Senin, 07 Oktober 2013
Sisi Lain: Kisah-Kasih di Ragunan
Kebun binatang ragunan adalah salah satu tempat wisata yang terkenal di Jakarta. Tempat ini bahkan kerap disebut sebagai tempat wisata edukasi bagi anak-anak. Namun demikian, Kebun Binatang Ragunan kini mulai beralih fungsi. Kebun Binatang Ragunan rupanya telah menjadi tempat yang asyik untuk memadu kasih dua sejoli. Mudah-mudahan Kebun Binatang Ragunan tak berubah nama menjadi Kebun Pacaran Ragunan.
Minggu, 06 Oktober 2013
Sejarah: Mencari Seonggok Kebenaran dari Jeruji Kamuflase Zaman
“Kenapa
sejarah dijadikan salah satu mata pelajaran di sekolah? Mulai dari SD, SMP, SMA bahkan kuliah pasti ada pelajaran sejarah. Kalau untuk moral kita dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, mengapa hanya sekadar mengejar nilai semata? ”
Pertanyaan di atas hanyalah satu
dari sekian banyak celotehan teman saya tentang pelajaran sejarah. Mungkin,
karena dia berjiwa filsafat, pikirannya selalu menanyakan apapun yang ada di dunia ini. Namun, coba kita renungkan sejenak celotehan
tersebut. Apakah pernah hal itu terlintas dipikiran anda?
Sabtu, 05 Oktober 2013
Membumikan ’Pendidikan Berkearifan Pluralisme’
Selama ini, istilah ’Bhineka Tunggal Ika’
selalu menjadi tagline yang melekat erat pada
Indonesia. Semboyan yang bermaknakan ’persatuan dalam perbedaan’ ini merupakan
wajah pluralisme bangsa yang dimanifestasikan oleh generasi terdahulu. Sayangnya,
belakangan, ada bangsa lain yang menganggap semboyan kebanggaan ibu pertiwi itu
sebatas parodi belaka. Mereka menganggap orang-orang Indonesia tak hanya memiliki
perbedaan namun juga satu persamaan. Mirisnya, persamaan tersebut adalah ketidakmampuan
untuk menghargai perbedaan itu sendiri. Sejatinya, ungkapan tersebut merupakan
tamparan keras bagi bangsa Indonesia. Namun, fakta dan realita yang terjadi
saat ini rupa-rupanya mulai mengiyakannya. Bagaimana tidak, konflik daerah yang tak berujung masih saja menghiasi
berbagai pemberitaan. Tawuran antar pelajar pun turut menambah panjang rentetan
persoalan.
Lova Dova Mova: * R *
Ada apa dengan huruf
’R’ ? Masalah buat loe? Loe cedal? Atau, ’R’ adalah inisial mantan loe yang
paling susah disuruh mandi sama pembantunya? Hihihihi... ya, terserah loe aja,
guys! Buat gue, ‘R’ itu adalah orang yang punya pengaruh besar dalam hidup gue.
Yups, Om Ricky! Orang yang suka marahin gue, cerewet, bikin jam malam di rumah
tapi selalu pertama bbm sama ping gue ketika gue baru landing di bandara
manapun *so sweet!*
Langganan:
Postingan (Atom)